Negara Jepang dan Pemilu: Sebuah Catatan Untukku

source google.com

Tahun 2019 ini adalah tahun yang spesial buat saya. Kenapa? Karena tahun ini adalah tahun Pemilu. Bukan karena saya pingin presiden cepet diganti atau karena saya tidak puas dengan kinerja pemerintah, tapi karena Pemilu tahun ini saya lakukan di Jepang. Sebuah pengalaman yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya!

Pemilu di Jepang dilangsungkan dengan dua cara, bisa melalui pos (karena TPS hanya ada di KBRI dan KJRI yang jauh buat temen-temen yang bukan berdomisili di sekitar Osaka atau Tokyo), atau dengan cara ke TPS langsung. Pendataan untuk pemilihan sendiri sudah dilaksanakan sangat jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan saya ingat, saya mem-verifikasi data diri saya untuk pemilu ketika menghadiri sholat Ied hari raya Idul Fitri tahun yang diselenggarakan KJRI Osaka, yang itu sudah hampir satu tahun yang lalu. Nama saya sudah terdaftar dan tidak ada kesalahan dalam data saya, yang kemudian data ini di verifikasi kembali kira-kira 6 bulan sebelum Pemilu, seingat saya sekitar bulan Oktober.

Saya sendiri "tidak sengaja" memilih metode Pemilu melalui pos. Awalnya saya ingin mencoblos langsung di TPS KJRI Osaka bersama teman-teman PPI karena Osaka tidak terlalu jauh dari kota Kobe tempat saya tinggal. Sayangnya, saat verifikasi ulang, saya lupa mengganti metode Pemilu saya sehingga saya tetap terdata sebagai pemilih dengan metode pos.

Kira-kira dua minggu sebelum Pemilu, surat suara saya datang. Untuk pemilu dengan pos ternyata dilakukan jauh lebih awal dibandingkan dengan Pemilu di TPS KJRI Osaka, apalagi di Indonesia. Begitu surat suara ditangan, saya langsung sadar, SAYA TIDAK TAHU HARUS MEMILIH SIAPA.

Mulailah saya mencari informasi, mulai dari media massa, sampe dari bertukar pikiran dengan teman-teman sesama PPI. Buat saya, kedua paslon itu sama, sama-sama punya plus dan minus. Hanya saja, salah satu paslon saya lihat lebih "ideal" dibanding yang lain. Ketika berdiskusi dengan teman-teman, ternyata banyak sekali teman-teman yang sudah mantap dengan pilihannya, bahkan dengan lantang menyuarakan aspirasi-aspirasi dari paslon tertentu. "Luar biasa," pikir saya, mereka tahu betul apa yang sedang terjadi di Indonesia, sepak terjang masing-masing calon, dan siapa yang harus dipilih. Tapi lambat laun saya mulai merasa bahwa seruannya seperti men-diskredit-kan paslon yang lain, yang akhirnya membuat saya jadi tidak bersimpati sama paslon tersebut, padahal paslon tersebut adalah paslon yang ideal menurut saya.  Sampai akhirnya saya memutuskan untuk memilih paslon yang lain (walaupun paslon yang ini sebenernya juga punya pendukung yang "kurang cerdas" yang suka menjatuhkan paslon lain)

Sesaat saya merasa bersalah, kenapa saya meninggalkan "idealisme" saya. Tapi dari pengalaman ini saya jadi belajar bahwa:

  • Tidak ada manusia yang sempurna. Termasuk paslon. Tidak ada paslon yang sempurna. Tidak ada paslon yang benar-benar ideal.  Yang ada hanya paslon yang kesalahannya bisa kamu toleransi atau tidak.
  • Berhentilah mendukung sesuatu dengan cara menjatuhkan lawannya dengan cacian dan cemoohan, karena hal itu hanya akan membuat orang-orang yang "masih belum yakin" seperti saya, jadi malah kehilangan simpati
OK. Lesson learned.

Sehari setelah pemilu di Jepang berlangsung, saya mendengar informasi tentang kekacauan yang terjadi di TPS KJRI Osaka dengan banyaknya pemilih tambahan. Saya sangat kaget ternyata banyak banget pemilih yang ngga terdata! WOW! Padahal, seperti yang saya tulis sebelumnya, pendataan sudah dilakukan sejak SATU TAHUN YG LALU. Saya paham banyak yang baru datang 6 bulan yang lalu atau mungkin 3 bulan yang lalu, atau mungkin hanya berwisata disini. Tapi saya yakin semua bisa terakomodasi dengan baik jika:
  • Semua orang paham hak dan kewajiban masing-masing. Mau nyoblos ya harus lapor yang benar. Saya tau mungkin birokrasinya terlalu panjang dan ribet, tapi ya itu kewajiban yang harus dipenuhi sebelum kita minta hak kita. Cari informasinya dengan benar, lakukan prosedurnya, kalo masih bermasalah baru boleh protes. Jangan mengandalkan, "alah, gampang, orang-orang kita juga ini". Grow up, peeps!
  • Hormati dan hargai sistem dan penyelenggara pemilu. Sekali lagi, tidak ada yang sempurna. Panitia juga manusia, dan sistem hanyalah alat yang dibuat manusia, pasti ada celah, ngga ada yang flawless. Kalau memang tidak puas, sampaikan kritik dan saran dengan baik, ngga pake nyolot, bicarakan baik-baik, karena itu menunjukkan kualitas kita sebagai manusia yang beradab dan menghargai sesamanya.
Memang, saya merasa, hal mendasar yang kurang dari pribadi orang Indonesia adalah RASA MENGHARGAI. Karena kita suka julid sih. Hahaha. Bener ngga?

Berangkat dari pengalaman Pemilu ini, saya jadi kepikiran, kalo di Jepang kayak gimana ya? Saya sering sekali lihat poster para caleg di jalan-jalan, sering juga ketemu caleg orasi di jalan, tapi saya ngga pernah liat mereka ribut atau demo.

Kampanye di Jepang. Caleg biasanya orasi langsung dijalanan kayak gini. Mostly sih bakal dicuekin orang-orang dijalan hahaha. (photo taken from google.com)
Memang Perdana Menteri (PM) Jepang itu tidak dipilih secara langsung, melainkan dipilih oleh parlemen. Masyarakat Jepang cuma punya andil dalam pemilihan caleg aja di daerahnya masing-masing. Mungkin itu yang menyebabkan mereka relatif lebih "tenang". Tetapi ternyata, bukan cuma itu. Angka partisipasi masyarakat Jepang terhadap politik itu cuma sekitar 50%, dimana setiap diadakan pemilu, hanya sekitar 50% orang saja yang memberikan suaranya. Kemana 50% sisanya?

50% sisanya adalah golongan pemuda dan usia produktif. Golongan ini percaya bahwa siapapun yang menjadi PM, kebijakan tidak akan banyak berubah bagi golongan ini. Sehingga partisipasi mereka terhadap politik cenderung rendah. Mereka lebih senang melaksanakan kewajiban mereka sebagai "pembangun ekonomi negara" dibandingkan dengan mengharapkan kebijakan pemerintah yang akan berpihak kepada mereka.

di Jepang, poster caleg ada papan khususnya, jadi ngga boleh asal nem
(source: google.com)

Memang, di Jepang, setelah memasuki usia produktif, para muda-mudi di Jepang punya kewajiban membangun negara-nya secara langsung maupun tidak langsung dengan istilah "terjun ke komunitas" atau "berkontribusi untuk komunitas" (saya lupa istilah bahasa Jepangnya apa. Mereka punya frase khusus untuk menggambarkan titik ini). Dibandingkan sibuk memikirkan politik dan memikirkan "kebijakan apa yang menguntungkan mereka" atau "apa yang negara bisa berikan untuk saya", mereka pilih cuek sambil "bekerja membangun negara menurut caranya masing-masing".

Well, mungkin saya sudah sampai ditahap itu.
Siapapun presidennya, saya ngga terlalu ambil pusing. Mereka sama seperti saya, sama-sama manusia, sama-sama berusaha yang terbaik. Mereka membangun negara menurut mereka, dan saya akan membangun negara ini menurut cara yang saya tahu saya bisa.
Ngga cuma temen-temen, tapi keluarga saya juga berisik nanyain terus siapa paslon yang saya pilih. Kalo ditanya siapa pilihan saya, maka saya bakal tetep diem, pilihan itu adalah hak saya dan saya ngga mau "pilihan yang saya pilih" itu dijadikan bulan-bulanan, dijadikan alasan untuk ribut, dijadikan pembenaran, apalagi dijelek-jelekkan. Saya dan paslon juga masih manusia, kawan, tolong selalu diingat, kami tidak selalu benar, dan tolong, hargai pilihan tiap orang!

Stop blaming whoever the president is, and start from yourself.
Sewaktu SMA, prinsip yang saya pegang adalah "Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang kamu bisa berikan pada negara" sebuah quote yang dikutip meniru Presiden Kennedy.
Sekarang, mungkin sudah saatnya kembali ke prinsip itu.

Kobe, 20 April 2019

Posting Komentar

0 Komentar