Apa yang saya dapatkan dari sebuah "acceptance"?

sebuah acceptance


Udah pada tau model stage of grief ala Kubler Ross? Pasti udah pada kenal mulai dari fase "denial" sampe akhirnya "acceptance" kan? Saya juga belajar ini di stase Psikiatri dulu, tapi baru sekarang saya merasakan sendiri manfaat dari sebuah "acceptance".

Hari ini saya baru saja baca postingan seorang influenser asal Jawa Timur yang terkenal dengan gaya nyablaknya, @brojabroo alias Danar "Jabro" Febiansyah. Di IG story-nya kebetulan dia lagi membalas DM dari followers-nya yang menanyakan apakah dirinya yang cablak itu pernah sedih dan down sampe nangis-nangis.

Saya sebagai follower-nya Jabro yang uda cukup lama mendengarkan kicauannya, udah sering sih denger cerita dia dulu ngekos makannya cuma ibaratnya "lauk satu dibagi tiga kali makan", atau ngga makan samsek, terus kerja jualan ini itu, pokoknya istilahnya "ngenes" banget.

Nah, si Jabro ini menjawab pertanyaan si follower tadi bahwa dirinya ngga pernah sedih atau down karena dirinya mengaku selalu menikmati dan menerima apapun yang dia punya. Baik itu fisik, rejeki, keluarga, sampai pertemanan, dia selalu menerima apapun yang dia punya.

Bahkan dia mengaku tidak pernah berdamai dengan dirinya sendiri, karena memang dia tidak pernah bertengkar dengan dirinya sendiri. Sebab dia menerima keadaan dan dirinya sendiri apa adanya.

dari instagram @brojabroo


Mungkin terdengar cheesy, tapi setahun terakhir ini saya juga baru saja merasakan nikmatnya menerima diri sendiri, masuk ke fase acceptance dari sebuah grief yang saya punya. 

Fase post-sekolah sebenernya adalah fase yang cukup krusial. Baik itu post-sekolah S1, S2, S3, dan bahkan post-sekolah spesialis. Sebab di fase "post-pendidikan" itu biasanya kita masih sangat idealis, masih sangat arogan dengan gelar baru kita, dan masih sangat naif dalam menentukan pekerjaan/langkah berikutnya. Dan ini kadang tidak sesuai dengan realita yang ada.

Akhirnya, tidak hanya saya, beberapa teman "post-pendidikan" ada yang kemudian "gagal", dan mulailah masuk ke dalam stages of grief-nya Kubler Ross. (Bahasan drama "post-pendidikan ini cukup seru, mungkin akan saya bahas di posting yang lain).

Cukup lama dulu saya merasa seperti orang gagal karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan. Ujung-ujungnya saya jadi tidak bersyukur dengan pekerjaan yang saya kerjakan. Setiap hari saya hanya merasakan lelah dan sedikit uang saja.

Sampai suatu titik saya menemukan sense of acceptance saya setelah saya merubah beberapa mindset saya:

1.  Rasa iri saya alihkan jadi semangat untuk meraih hal yang saya irikan.

Saya dulu sering membuka instagram dan merasa sangat panas dan sangat iri ketika melihat orang lain lebih sukses dari saya. Alih-alih membiarkan panas dan emosi itu, energi itu sekarang saya pakai untuk mendapatkan hal yang saya irikan.

Misalnya ketika saya iri melihat teman punya gawai baru, maka ketimbang saya sibuk iri-irian, waktu dan tenaga saya alihkan untuk bekerja sampingan supaya punya uang yang cukup buat beli gawai. Ini cuma contoh sih (karena saya ngga terlalu minat ama gawai baru). Tapi ternyata sekarang saya bisa meraih hal yang tadinya saya iri tersebut.

2.  Energi marah saya alihkan jadi energi kreatif.

Ketika gagal mendapatkan sesuatu, daripada marah dan kesal berhari-hari, saya habiskan emosi saya di hari pertama, dan menggunakan energi tersebut untuk melakukan hobby saya. Bahkan kini usaha kecil-kecilan saya dengan kakak saya yang berangkat dari hobby tersebut sudah bisa menghasilkan pundi-pundi yang lumayan banget.

3. Fokus pada prioritas.

Ini adalah suatu hal yang membantu banget dalam perjalanan menuju dewasa saya, dan juga dalam hidup saya sekarang. Saya ngga mudah sedih dan kesal hanya karena satu kegagalan. Ngga papa gagal yang penting yang menjadi prioritas masih tetap prioritas.

4. Keep track of yourself.

Ingat, yang diikuti adalah perkembangan diri sendiri. Bukan orang lain. Jadi ngga perlu dibandingin sama orang lain juga. Cukup membandingkan kita yang dulu dengan yang sekarang, dan jawab pertanyaan ini: seberapa jauh kah kita belajar dan berkembang?

Lalu apa yang saya dapatkan dari sebuah "acceptance"?

Setelah merubah mindset tersebut, saya jadi lebih "nrimo". Saya tidak lagi fokus pada kegagalan. Tidak lagi fokus pada ambisi tidak berujung, saya hanya merubah prioritas saya dari waktu ke waktu. Saya jadi lebih sayang sama diri sendiri, karena saya melihat bahwa saya bukanlah saya yang dulu. Saya sudah belajar dan berkembang cukup banyak!

Saya jadi lebih banyak bersyukur. Pekerjaan yang saya kira "cuma capek dan uangnya sedikit" ternyata kalau dilihat lagi justru memberi kesempatan saya untuk lebih kreatif dalam bekerja. Bahkan ujung-ujungnya membuat saya berhasil mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik (meskipun tawaran tersebut tidak serta merta diambil karena kembali lagi ke prinsip prioritas). Acceptance ternyata justru membuka peluang baru.

Terlebih lagi, kini saya lebih acceptance dalam menerima diri saya yang biasa aja, bukan orang spesial yang luar biasa. Bahkan sekarang saya merasa lebih nyaman sekarang menjadi seorang yang biasa saja, karena kita tetap bisa menebarkan kebaikan dimanapun meski kita bukan orang hebat yang luar biasa.

Jadi, jangan berlama-lama di fase denial, anger, apalagi depression. Ada fase acceptance yang indah. Kalau perlu, segeralah berlari ke fase acceptance ini. Kalau merasa kesulitan, ingat ada psikiatris dan psikolog juga yang siap membantu kita menuju ke fase acceptance.

Posting Komentar

0 Komentar