Taru wo Shiru: Knowing What is Enough

Belakangan ini saya mulai tertarik dengan gaya hidup minimalis. Saya memulai dengan membuang barang yang saya tidak perlukan dan tidak berbelanja melebihi keperluan saya. 

Tapi, setelah membaca ulasan kak Prim tentang hidup minimalis, saya jadi sadar satu hal terpenting dalam hidup minimalis: knowing what is enough atau dalam bahasa Jepang "Taru wo Shiru". 

Taru wo shiru
picture source: Canva.com


Taru wo Shiru Mono wa Tomu

Di Jepang, ada sebuah proverb yang berbunyi "Taru wo shiru mono wa tomu" yang kurang lebih artinya seseorang yang senantiasa merasa cukup, adalah orang yang kaya hatinya. I am content of what I am.

Proverb ini menggambarkan prinsip Zen dan Buddhism di Jepang. Kata-kata ini juga terukir dalam sebuah Tsukubai (tempat cuci tangan sebelum upacara minum teh) di kuil Ryoan-ji, Kyoto. 

Semangat hidup minimalis di Jepang memang berangkat dari prinsip Zen dan Buddhism yang berfokus pada hidup yang simpel, "bersih", dan secukupnya.

Selain itu, ada juga konsep "ma" yang diartikan sebagai suatu ruang kosong. Ruang kosong atau "ma" menurut minimalisme adalah suatu hal yang dapat mendatangkan peluang. 

Makanya ngga heran untuk beberapa pengikut minimalisme yang kemudian berlomba-lomba dalam "mengurangi" barang yang mereka punya dan membuat "ruang kosong" hingga ke tingkat yang ekstrim.

Tapi kemudian ini membuat saya jadi bertanya-tanya. Apakah harus se-"kosong" itu?

Sebenernya nggak. Secukupnya aja. Seperti apa itu cukup? 

Apa itu cukup?

Sebenernya ini adalah suatu pertanyaan yang masih saya pertanyakan juga. Tiap saya decluttering, saya selalu kepikiran. Apakah saya decluttering terlalu banyak? Apakah sudah cukup?

Sama halnya ketika belanja. Jujur aja sebagai cewek selalu ada rasa ingin beli ini itu dan kadang kesulitan untuk nge-rem. Padahal kita hanya perlu secukupnya aja.

Dan seperti kata kak Prim, cukup itu tergantung masing-masing individu. Hanya kita yang bisa menemukan kecukupan kita. 

Kalau menurut suami saya yang juga mempraktekkan minimalisme, cukup menurut beliau adalah ketika apa yang kita perlukan bisa kita penuhi. Tempat tidur untuk tidur, makanan untuk makan, pendidikan untuk aktualisasi diri, rumah untuk tinggal, dan sebagainya.

Selain itu, cukup adalah ketika kita bersyukur terhadap apa yang kita miliki. Selama kita tidak bersyukur, maka kita tidak akan pernah merasa cukup.  Being grateful is the key.

Cukup versi saya

Kurang lebih saya setuju dengan apa yang didiskusikan dengan suami. Bersyukur memang mendatangkan feels of contentment. Bersyukur membuat kita merasa cukup.

Menurut saya, merasa cukup ini semacam bentuk dari acceptance juga. Dimana kita menerima apa yang ada dihadapan kita sebagai milik kita. Selama kita menghindari acceptance dari kondisi kita, maka kita tidak akan bisa bersyukur, dan tidak bisa merasa cukup.

Yang jelas, rasa cukup itu sangat amat dipengaruhi oleh kondisi mental dan pengalaman hidup seseorang. Makanya bentuknya bisa berbeda dari satu individu dengan individu yang lainnya.

Apa manfaatnya merasa cukup?

Yang jelas jadi lebih kaya. Kaya hati dan juga kaya material. Kan kita jadi ngga banyak belanja, ngga banyak jajan, dan ngga banyak pengeluaran, jadi lebih banyak menabung donk (hehehe).

Sejak mulai membuang, menjual, dan menghibahkan barang, plus mengurangi belanja-belanji secukupnya saja, saya jadi merasa lebih lega dan anehnya saya jadi lebih "sayang" (bukan dalam artian emotionally attached ya) dengan barang-barang yang memang saya punya.

Melihat kamar dan lemari yang lebih beres dengan barang yang secukupnya, saya merasa lebih praktis, jadi membuat saya hemat banyak waktu untuk mencari barang "ketlingsut" dan juga hemat banyak waktu untuk bersih-bersih rutin.

Akhir kata

Prinsip Taru wo Shiru adalah suatu prinsip hidup yang bermanfaat, bagi pelaku pola hidup minimalis maupun bukan. Karena mengetahui apa itu cukup dapat menghindarkan kita dari sikap yang berlebihan.

Namun untuk dapat mendefinisikan "cukup", maka kembali kepada kondisi dan pengalaman hidup kita. Apa yang saya pahami tentang cukup mungkin bisa berbeda dengan orang lain dan itu adalah hal yang wajar saja.

Kalau menurut teman-teman, apa itu cukup dalam hidup?

Posting Komentar

0 Komentar