Sebagai salah seorang alumni FK-UNAIR, saya turut berbangga mendengar almamater saya digadang-gadang "menemukan alat pendeteksi virus corona". Apalagi "alat" tersebut merupakan hasil kerjasama UNAIR dengan Kobe University-Jepang, tempat saya sedang menempuh pendidikan S3 saat ini.
Nah, mumpung pas, saya ingin bercerita sedikit tentang "alat pendeteksi virus corona" ini, supaya temen-temen lebih paham dengan "alat" atau "reagen" yang dimaksud. Walaupun virologi bukan bidang saya, tapi disini saya ingin membahas tentang virus dan alat pendeteksi ini secara umum dan simpel supaya mudah dipahami, sekalian berbagi sedikit opinin tentang kenapa kok angka penderita di Jepang naik terus sementara masih nol di Indonesia.
BAGAIMANA MENDETEKSI VIRUS COVID-19?
Virus adalah organisme yang sangat kecil, lebih kecil dari bakteri. Kalo bakteri bisa kita lihat dengan mikroskop, maka virus baru bisa dilihat dengan mikroskop yang khusus sekali, yang disebut electron microscope. Jadi bisa dibilang sulit sekali mendeteksi virus ini dengan cara "melihat" bentuknya. Selain itu, untuk bisa dilihat, virus ini harus di"tangkap" atau diisolasi. Nah, virus ini juga sulit sekali di"tangkap" karena dia hanya bisa hidup didalam sel hidup, membuat peng-isolasian-nya semakin sulit lagi. Gimana dong kalo gitu cara mendeteksi virus yang cepat dan akurat?
![]() |
Perjalanan infeksi virus. mRNA virus didalam sel inang inilah yang akan dideteksi |
Jawabannya adalah dengan mengidentifikasi materi genetik yang ada di dalam si virus ini!
Setiap virus membawa materi genetik masing-masing di dalamnya.Dan setiap kali virus ini nempel dan menginfeksi suatu sel, virus ini akan memasukkan materi genetiknya ke dalam sel inang atau host cell nya. Di dalam sel inang ini nanti, si materi genetik ini akan diperbanyak atau di replikasi. Jadi, cara paling gampang mengidentifikasinya adalah dengan mengisolasi sel yang terinfeksi ini dan mendeteksi materi genetik yang melimpah ruah didalam sel tersebut. Sel yang terinfeksi diambil darimana? Ya dari sel-sel saluran pernafasan orang yang "diduga" terinfeksi, misalnya dari hasil usap tenggorokan seseorang.
![]() |
Alat real time-PCR yang biasanya digunakan di lab saya |
Kemudian mendeteksinya pake apa?
Pake alat yang namanya PCR atau Polymerase Chain Reaction. Alat ini akan mendeteksi suatu rantaian asam nukleat tertentu sesuai gen yang diinginkan, dan mengamplifikasikannya berkali-kali lipat, untuk kemudian mencapai threshold tertentu untuk dideteksi. Di Jepang, alat ini ada dimana-mana. Universitas-universitas yang punya laboratorium penelitian biologis pasti punya. Institusi penelitian pasti punya. Bahkan di lab seperti tempat saya belajar, penggunaan PCR adalah hal yang sangat lumrah dan sehari-hari dilakukan 2-3x. Tidak hanya lab, rumah sakit di Jepang pun juga punya. Di Indonesia? Jangan salah, banyak universitas juga punya, seperti UI, UGM dan tentu saja Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR. Institusi penelitian lain seperti Eijkman juga punya kok.
Terus kenapa sekarang dikatakan hanya dua tempat (Kemenkes dan ITD UNAIR) saja yang bisa mendeteksi COVID-19?
Jawabannya adalah supaya alat ini bisa mendeteksi materi genetiknya, dibutuhkan suatu template atau cetakan yang sesuai dengan materi genetik si COVID-19 ini. Dan cetakan tersebut adalah suatu reagen yang namanya PRIMERS. Penjelasan singkatnya bisa cek disini.
![]() |
Contoh botol primers. Biasanya berbentuk seperti ini, isinya berupa bubuk (untuk transportasi), yg perlu didilusi dulu sebelum dipakai. |
Supaya si PCR ini bener-bener mendeteksi materi genetiknya virus ini dan bukan virus atau gen lainnya, dibutuhkanlah si primers ini. Kita bisa mendesain sendiri primers kita supaya cocok dengan materi genetik yang kita mau. WHO, CDC, dan NCBI juga sudah menyediakan informasi sequence atau urutan asam nukleat yang cocok dengan materi genetik si COVID-19 ini di website mereka yang bisa diakses secara bebas. Di Jepang, kalo kita sudah punya sequence yang kita mau, kita tinggal pesen ke produsen primers, dan primers itu akan datang ke lab kita dalam 3 hari kerja saja, terus bisa langsung dipakai. Sayangnya, di Indonesia tidak ada distributor atau produsen primers, sehingga kita harus selalu impor, yang mana memakan waktu SANGAT LAMA. Menurut temen saya yang dulu mengerjakan penelitian molekuler di Indonesia, satu primers aja bisa memakan waktu Minggu-bulanan.
Makanya, ITD UNAIR melalui kerjasamanya dengan Kobe University melakukan penyediaan primers yg kemudian di”impor”. Inilah kemudian yang disebut alat deteksi. Sekalian meluruskan kalo alat deteksi ini bukan alat baru dan bukan alat temuan juga ya.
Kalo ditanya kemampuan mendeteksi di Jepang dan di Indonesia gimana?
Jawabannya, kemampuan deteksi virus di Jepang dan Indonesia itu SAMA. Indonesia juga MAMPU mendeteksi virusnya, sama dengan di Jepang.
Terus kenapa sampe sekarang masih nol kasus? Apakah ini bener-bener nol atau underdetected? Mari kita bahas.
MENDEFINISIKAN KASUS COVID-19
Indonesia sudah bisa mendeteksi virus COVID-19 ini, tapi kok ngga ada yg dideteksi sih? Silahkan merujuk ke berita-berita ini:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200212080753-4-137146/ri-diduga-kemasukan-virus-corona-ini-penjelasan-terawan
https://www.disway.id/r/839/semua-negatif?fbclid=IwAR11ytUet4_gssU69K_P6guUpo_PxBdDNWam3T5z1fHXOEblCtlc0xcrABc
Sebenernya ya sudah ada yang diperiksa, tapi memang tidak banyak (untungnya semua negatif). Karena tidak semua bisa diperiksa. Seperti yg diutarakan Prof Maria di artikelnya pak Dahlan Iskan, reagen dan alat untuk pendeteksi ini jumlahnya terbatas (dan sangat mahal, apalagi harus impor dari Jepang), jadi ngga semua orang yang "kelihatan tertular" bisa diperiksa. Untuk itulah kriteria digunakan untuk mendefinisikan kasus COVID-19 ini sebelum diperiksa.
Kriteria Kemenkes https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-terkini/Coronavirus/DOKUMEN_RESMI_Pedoman_Kesiapsiagaan_nCoV_Indonesia_28%20Jan%202020.pdf
Kriteria WHO https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/330376/WHO-2019-nCoV-Surveillance-v2020.1-eng.pdf?sequence=5&isAllowed=y
Mungkin ini sebabnya dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, so far hanya 70 orang yang di periksa. Karena mungkin hanya 70 orang itu yang memenuhi kriteria ini. Dan ini bukan kriteria Indonesia doang lho ya, tapi kriteria yang sudah di akui WHO. Jadi, penanganan di Indonesia ini ya sudah sesuai anjuran WHO. But again, saya juga bukan ahli epidemiologi atau ahli penyakit infeksius ya.
Bagaimana dengan di Jepang?
Kriteria kasus COVID-19 mereka agak berbeda. Di Jepang, suhu badan diatas 37.5 celcius sudah dikatakan demam (berbeda dengan Indonesia yang pake cut off 38 celcius). Jadi pemeriksaan mereka lebih agresif. Dan warga Jepang itu lebih aware sama infeksi virus, karena mereka sering banget kena influenza (dan sekarang masih musim influenza). Wajar banget di lingkungan Jepang kalo panas 37.6 celcius selama 2 hari aja langsung pergi ke dokter, lain dengan di Indonesia, 37,6 masih dianggap sumer-sumer dan segera reda setelah kerokan dan semacamnya, sementara demam yang tinggi biasanya akan dicurigai infeksi lain dulu misalnya DBD (karena secara epidemiologi, kasus DBD tinggi di Indonesia). Selain itu, sistem surveilans di Jepang pun juga sudah bagus. Karena tiap-tiap kasus positif pasti ditelusuri lagi hingga ke titik penyebaran pertama (biasanya berasal dari orang yang pulang dari China). Dan dari surveilans inilah kemudian ketemu kasus-kasus positif lainnya. Jadi, selain pemerintahnya aktif menelusuri, alat deteksi yang tersedia dimana-mana, warganya pun juga aware dan aktif berkonsultasi (melalui call center atau ke klinik langsung) bila menemui tanda-tanda infeksi.
Satu-satunya kekacauan dalam penanganan kasus COVID-19 di Jepang adalah karatina diatas kapal Diamond Princess. Bahkan 2 pasien meninggal di Jepang adalah penumpang Diamond Princess yang diduga "ketularan" di atas kapal ini. Dan 2 orang staf yang menangani karantina ini juga ikut tertular, sehingga menambah panjang daftar kasus yang positif.
Menurut saya, mendefinisikan kasus inilah yang sulit. Diperlukan surveilans yg baik, sistem rujukan yang baik, fasilitas pemeriksaan yg memadai dan kesadaran masyarakat juga. Kalo kasusnya sudah terdefinisikan, apakah masuk kasus "pasien dalam pengawasan" atau "orang dalam pengawasan", baru deh bisa ditindak lanjut, periksa definitif atau isolasi atau observasi yg lain. Menurut saya pribadi sih, ngga ada yg perlu kita ragukan dari langkah pemerintah tentang penanganan COVID-19. Hanya saja spektrum penyakit karena COVID-19 ini cukup luas, jadinya sulit "tertangkap".
SPEKTRUM PENYAKIT KARENA INFEKSI COVID-19
Nah, satu lagi yang membuat deteksi kasus COVID-19 ini susah adalah spektrum penyakitnya yang luas. Di Jepang, diantara kasus positif mereka, ada yang tidak ber-symptom (kasus salah satu warga yang dievakuasi dari Wuhan), demam juga kadang tidak tinggi (tipikal infeksi virus), kebanyakan batuk dan sesak, tapi ada juga yang gejalanya diare (pada kasus di Diamond Princess). Kalo dibayangkan, ketika sedang jaga puskesmas dan nemu pasien batuk, sesak dengan demam ringan, sulit rasanya kita curiga COVID-19 kalo tidak ada kriteria kontak yang positif, karena di Indonesia gejala yang sama penyebabnya bisa macem-macem. Sama halnya kalo ketemu pasien demam dengan diare, hampir tidak mungkin kita curiga COVID-19 kecuali ada riwayat kontak yang jelas, karena penyebab demam dan diare ada ratusan! Padahal menelusuri riwayat kontak sesuai kriteria WHO atau Kemenkes juga ngga mudah.
![]() |
Gejala umum COVID-19 |
Intinya, tidak mudah untuk menemukan kasus COVID-19 di Indonesia. Bukan perkara bisa/tidak bisa mendeteksi virusnya lagi. Bisa jadi memang tidak ada kasusnya, atau kasusnya tidak terdeteksi. BELOM TENTU VIRUSNYA YANG TIDAK TERDETEKSI YAAA
Memang, banyak yang berkomentar "masa nunggu sakit dulu baru di cek?", ya karena ini bukan pemeriksaan yang sifatnya screening. Ini adalah pemeriksaan yang definitif, jadi harus masuk kriteria kasus dulu baru diperiksa.
PENCEGAHAN PENULARAN COVID-19
![]() |
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public |
Well, karena pengobatannya belom ditemukan, menemukan kasusnya juga masih sulit, maka our best bet adalah dengan mencegah meluasnya penularan. Seperti yang disarankan oleh WHO
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public
Diantaranya:
- Rajin-rajin cuci tangan
- Etika batuk yang benar
- Jaga jarak dengan orang lain (terutama yang punya gejala respiratori)
- Jangan terlalu sering memegang wajah, mulut, hidung, mata.
- Segera berobat jika mendapati gejala infeksi COVID-19
Di Jepang, informasi seperti ini disebarkan berkali-kali, berulang-ulang, dimanapun kapanpun, lewat TV, internet, media sosial, dan segala macamnya. Orang Jepang sendiri jg sudah biasa dengan poin-poin pencegahan infeksi virus (karena mereka berperang melawan influenza tiap tahun juga). Sehingga saya percaya, mungkin penyebaran akan segera reda di Jepang.
Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Sudahkah temen-temen memperbaiki kebiasaan buruk kita dengan kebiasaan pencegahan infeksi virus ini??
Jadi, kalo menilik kembali kenapa kasus yang di Natuna tidak diperiksa? Ya mungkin karena tidak memenuhi kriteria kasus (ada kontak tapi tidak ada gejala). Kenapa di Bali yang banyak turis China tidak diperiksa? Ya mungkin karena tidak memenuhi kriteria kasus lagi (ada kontak tapi tidak ada gejala).
Masalah apakah orang Indonesia kebal/ tidak atau apakah iklim dan suhu berpengaruh pada penyebarannya, menurut saya pandangan itu sah-sah saja, dan mungkin ada benarnya. Karena sampai saat ini belum ada bukti yang mendukung maupun menapis hipotesa itu. Jadi, selama belum dibuktikan ya silahkan percaya atau tidak. Yang jelas, fakta di lapangan menunjukkan adanya WNI yang positif COVID-19 (di Singapura 1 orang, dan di Jepang 3 orang).
Kira-kira begitu menurut opini saya. Sekali lagi, virologi bukan bidang saya, saya hanya menelaah berdasarkan informasi dan keilmuan saya secara umum ya. Semoga memberi sedikit pencerahan buat temen-temen. CIAO!
buat info seputar kondisi Jepang, silahkan follow ig/twitter saya.
ikuti juga info dari YouTube account saya Indyrins
(cek linknya dibawah description blog ini)
Baca artikel lanjutannya: http://rumahindik.blogspot.com/2020/03/covid-19-case-finding-antara-indonesia.html
buat info seputar kondisi Jepang, silahkan follow ig/twitter saya.
ikuti juga info dari YouTube account saya Indyrins
(cek linknya dibawah description blog ini)
Baca artikel lanjutannya: http://rumahindik.blogspot.com/2020/03/covid-19-case-finding-antara-indonesia.html
0 Komentar