![]() |
https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 |
Helo again!
Sampai saat ini saya masih dihantui rasa penasaran tentang si COVID-19 case finding ini nih. Apalagi setelah Korea, Italy dan Iran punya kasus yang begitu massive just over the weekend. Terutama untuk korea, angka kasusnya udah menembus ribuan, dalam waktu yang relatif sangat singkat. Walaupun tidak semenukik Korea, Jepang pun sampe sekarang masih terus menambah jumlah kasusnya hampir tiap hari! Dan jumlah kasus baru stabil di angka yang lumayan, sehingga sampai saat ini kasusnya tetap tinggi. Maka saya coba baca2 guidelines di Korea dan Jepang yang deteksinya nambah terus nambah terus. Apa yang beda?
KOREA
Sumbernya saya ambil langsung di website Korean Center for Disease Prevention and Control (KCDC) khusus COVID-19 linknya ada disini http://ncov.mohw.go.kr/index_main.jsp
Website KCDC ada yang bahasa inggris, sayangnya yang khusus COVID-19 hanya dalam hangul, jadi nyalakan fungsi translate di browser yang dipakai ya.
Bagaimana deteksi kasus di Korea?
Cek langsung di webnya http://ncov.mohw.go.kr/faqBoardList.do?brdId=3&brdGubun=34&dataGubun=&ncvContSeq=&contSeq=&board_id=#
Isinya? SESUAI DENGAN PROTOCOL WHO (cek protocolnya disini)
Mereka mendefinisikan kasusnya sebagai:
Kasus Suspek , kalau seseorang:
- Demam atau gejala pernapasan (batuk, nyeri tenggorokan, dsb) dalam kurn 14 hari setelah mengunjungi China (termasuk Hongkong dan Macau)
- Kontak dengan pasien yang SUDAH POSITIF dalam kurun 14 hari dan ada gejala demam atau ernafasan
- Memiliki gejala pneumonia yang sebabnya tidak diketahui yg perlu dirawat di RS
- Memiliki panas atau gejala respirasi dalam kurun waktu 14 hari sejak berkunjung ke daerah epidemi
- Hasil pemeriksaan dokter curiga kasus COVID-19 (contohnya silahkan baca disumber aslinya ya, mereka juga menekankan please trust your doctor's judgment)
Mohon maaf kalo translasinya ada yg salah, saya cuma pake google translator, tapi kira-kira bunyinya seperti itu. Untuk kasus suspek, definisinya sama intinya dengan di rujukan WHO, dan sama dengan rujukan Kemkes di Indonesia (baca disini). Untuk kasus observasi, memang tidak ada guidelines jelas dari WHO, tapi kurang lebih mirip dengan yang di Indonesia juga.
![]() |
http://www.mohw.go.kr/react/popup_200128.html List klinik dan fasilitas kesehatan di Korsel untuk COVID-19 |
KCDC juga menyediakan list nama klinik dimana kita bisa mendapatkan tes untuk COVID-19 dan Hotline kalo kita galau harus periksa atau ngga dan periksa kemana. Dan kliniknya tidak sedikit lho, banyak banget dan tersebar diberbagai penjuru Korea. Jadi, akses dan ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai itu jelas. Ada daftar klinik untuk screening saja dan rumah sakit untuk pemeriksaan lanjut. Bikin orang lebih nyaman untuk memeriksakan dirinya, walaupun biaya pemeriksaannya tidak murah. Tapi pemeriksaan tersebut bener-bener komprehensif. Untuk mempermudah pemeriksaan dan mengurangi kontak dengan penderita, mereka bahkan membuat drive-through (klik disini) dan juga pemeriksaan di tenda-tenda di bermacam tempat. Untuk pemeriksaan definitif menggunakan RT-PCR, waktu tunggunya hanya 6 jam! Paling cepat yang pernah saya baca!
Untuk kasus observasi, bagaimana mereka mengendalikannya? Semuanya ditulis di website ini. Isinya? Sama dengan rujukan Kemkes.
Hasilnya?
Mereka update setiap saat di website tersebut COVID-19 mereka.
JEPANG
Di Jepang, kriterianya berbeda dengan standar WHO, bahkan kriteria ini "lebih agresif" dibanding WHO, di Korea, dan di Indonesia. Kriteria versi bahasa inggris bisa dicek disini: https://www.mhlw.go.jp/stf/seisakunitsuite/bunya/newpage_00032.htmlUntuk warga Jepang yang memiliki gejala ini, harus langsung konsultasi dengan pusat konsultasinya:
- Gejalan common cold (termasuk batuk, pilek, nyeri otot, dan lemah) atau disertai demam 37.5 celcius atau lebih selama 4 hari atau lebih.
- Kalo ada fatigue atau sesak harus langsung periksa setelah 2 hari.
- Untuk orang tua atau orang dengan penyakit tertentu harus segera periksa jika gejala tetap selama 2 hari.
Nah, pusat konsultasi ini nanti yg akan mengarahkan ke mana kita harus periksa dan menjelaskan etiketnya termasuk memakai masker dan bepergian tidak menggunakan transportasi publik.
Ini sosialisasi gejala curiga COVID-19 yang disosialisasikan melalui media massa (TV) Isinya sama dengan yang ditulis di webnya kementrian kesehatan Jepang |
Kriteria ini lebih agresif, karena tidak lagi mengindahkan ada/tidaknya riwayat perjalanan atau riwayat kontak sebelum kita melakukan tahap konsultasi. Definisi kasus baru dilakukan oleh pusat konsultasi ini melalui telepon. Untuk yang kasus suspek pasti langsung di arahkan ke medical service tertentu, sementara untuk yg kasus observasi akan langsung diarahkan ke klinik rawat jalan dan dijelaskan mengenai karantina. (Keterangan ini lebih jelas di petunjuk dalam bahasa Jepang disini).
Alur pemeriksaan pasien curiga COVID-19 di Jepang. Agak berlapis-lapis yang bikin angka deteksinya lambat naik |
Hasilnya? Setiap hari antara pukul 8-10 malam, masing-masing kepala daerah (walikota atau gubernur) atau otoritas kesehatan setempat akan mengumumkan temuan mereka dari hasil pemeriksaan melalui konferensi pers yang disiarkan di semua media massa. Dan kompilasi hasil pemeriksaan ini juga bisa di akses melalui website menteri kesehatan Jepang yang diupdate tiap hari. Juga biasanya dilaporkan oleh menteri kesehatan secara berkala (perkembangan dan kebijakan berikutnya).
![]() |
Update ini aslinya pake bahasa Jepang tapi di gugel translet. Silahkan ke webnya dan baca langsung buat yang jago baca Jepang |
INDONESIA
Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, guidelines di Indonesia bisa kita tilik di bagian kesiapan COVID-19 di laman kementrian kesehatan (cek disini).
Disitu sebenernya sudah ada keterangan tentang gejala, definisi kasus (Orang Dalam Pengawasan-ODP dan Pasien Dalam Pengawasan-PDP). Ada keterangan tentang tatalaksana masing masing kasus (baca juga artikel saya yang sebelumnya disini).
Buat yang belum tau, hasil pemeriksaan di Indonesia pun bisa kita lihat di website yang khusus kasus infeksi emerging gitu. Linknya ini http://infeksiemerging.kemkes.go.id/
Informasi sederhana bisa kita lihat di bagian QnA di halaman websitenya Kemkes. Linknya yang ini http://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/info-corona-virus/tanya-jawab-novel-coronavirus-2019-ncov-faq-update-4-februari-2020/#.Xlu1kJMzbfY
Melihat informasi di Kemkes Indonesia, saya mengambil kesimpulan bahwa:
1. Indonesia mampu mendeteksi virus ini
2. Indonesia sudah punya guidelines yang jelas dan ini terstandar WHO
3. Indonesia juga sudah melaporkan secara jelas di website Kemkes. Jadi mestinya ngga ada yg kaget dengan jumlah tersebut, walaupun jumlahnya masih sedikit dibanding negara lain.
Baik di Jepang maupun Korea, mereka menggunakan 37,5celcius sebagai cut-off kriteria demam. Jadi bisa dibilang semua orang dengan gejala bapil, gejala common-cold dengan riwayat kontak atau perjalanan bisa ikut terjaring. Sehingga angka deteksi-nya besar. Tinggal nanti dibedakan mana yang masuk probabel, mana yang masuk suspek, terus diperiksa definitif (dengan PCR) dan dipastikan mana yang bener-bener kasus positif.
Study populasi yang terbit di jurnal NEJM tgl 28 Februari 2020 kemaren menggambarkan karakteristik klinis pasien COVID-19. Dan disitu mereka menemukan bahwa demam saat pasien tersebut masuk ke RS ngga sampe 38 derajat celcius rata-ratanya (50% bahkan dibawah 37.5derajat celcius). Walaupun ketika di rawat, panasnya bisa naik sampe rata-rata 38.3 derajat celcius. Jurnalnya bisa dibaca di link ini https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2002032
Di Jepang, sekali ada kasus positif, orang yang pernah kontak sama dia dalam kurun 14 hari langsung di lacak dan dikarantina (kalo tidak ada gejala) atau diperiksa langsung (kalo ada gejala). Biasanya hasil pelacakan ini masuk berita di TV/koran. Sementara di Korea lebih agresif lagi pelacakannya, bahkan sampe tempat-tempat yang dilewati pasien positif langsung didatangi dan di disinfeksi secara besar-besaran. Saya setuju kalo penanganan COVID-19 di Jepang masih tergolong "santuy", ngga se-tegas di Korea.
Saya baru baca berita siang ini di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200302111534-20-479660/jokowi-umumkan-dua-wni-positif-corona-di-indonesia, ternyata ada dua WNI yang positif setelah dilakukan PELACAKAN KASUS. Makanya, pelacakan ini penting. Tapi darimana mulainya pelacakan kalo ngga ada yang "tertangkap" sebelumnya? Tetep, kita harus aware, tau kapan harus periksa dan kemana.
Di Jepang, tiap malem selalu ada konferensi pers soal kasus temuan baru, hasil contact tracing dan siapa aja yang dikarantina. Di website mereka juga terpampang jelas jumlah kasus mereka walaupun tidak sekomplit di Korea. Di Korea, informasi ini jelas banget ada di webnya, ada dimana2. Sehingga orang yang ngerasa sakit bisa langsung tahu harus menghubungi kemana dan dateng kemana, ngga perlu pusing-pusing dan tidak misdiagnosis. Walaupun di Jepang sudah ada hotline, dan sekarang hotline nya dibagi per prefektur. Jadi jelas untuk warga di tiap prefektur
Di Indonesia yang jelas kita punya hotlinenya juga kok, tolong dimanfaatkan ya! Walau tidak serapi Korea/Jepang, website kemkes ada juga update kasusnya. Dari kabar temen-temen saya dokter di Indonesia, beberapa rumah sakit sudah disiagakan dan disosialisasikan tentang penanganan COVID-19, jd jangan khawatir. Mungkin sebentar lagi akan ada sosialisasi sampe tingkat masyarakat tentang ini. Kalo informasi ini jelas, rujukan dan faskesnya jelas dan di sosialisasi, apalagi kalo kita melihat langsung kesiapan faskes2 di Indonesia, kayanya orang-orang ngga akan takut dateng ke Indonesia deh. Masyarakat pun ngga akan panik kalo sistemnya jelas, kayak di Singapura.
Yang ngga kalah penting adalah sosialisasi tentang kapan kita harus periksa juga. Biar orang Indonesia makin aware!
Biaya pemeriksaan COVID-19 ini bener-bener tidak murah. Namanya juga penyakit baru. Perawatannya pun juga bisa mahal dan murah, tergantung kegawatan. Di Korea, biaya pemeriksaannya sekitar 140 USD, biaya pengobatannya nanti bisa digratiskan karena ditanggung negara. Bahkan kalo mereka nantinya harus karantina atau masuk RS, gaji mereka dijanjikan tetap dibayar (baca di QnA). Jadi, mereka ngga khawatir diperiksa.
Di Jepang, biaya pemeriksaanya lebih mahal, antara 125 USD sampe 166 USD tergantung institusi yang memeriksa. Untuk menaikkan angka deteksi, akhirnya PM Abe memutuskan bahwa biaya pemeriksaan untuk COVID-19 akan ditanggung oleh asuransi nasional Jepang, sehingga warga Jepang cukup membayar 1/3 biayanya. Walaupun kalau nanti harus karantina atau masuk RS, tidak ada paid leave, alias gaji tidak dibayar, kecuali punya asuransi kerja dan si orang ini memenuhi syarat. Sehingga orang kadang mikir-mikir dulu sebelum memeriksaan diri. (CMIIW yah soalnya baca pake gugel translate. Baca di QnA ini).
Di Indonesia, saya cuma tahu harga pemeriksaan di ITD UNAIR seperti yang saya kutip di artikel sebelumnya. Tapi sekarang pemeriksaan di pusatkan di litbangkes, dan belum ada informasi apakah ini akan ditanggung BPJS atau bagaimana. Dan belom tau juga alokasi dana untuk kesiapan ini berapa. Yang heboh diberitakan malah alokasi biaya pariwisata.
Seperti yang tertera di websitenya, di Korea, pemeriksaan COVID-19 bisa dilakukan dimana-mana. Di berbagai faskes yang tersebar di berbagai daerah di Korea. Sama halnya dengan di Jepang. Setiap prefektur sudah ada fasilitas tertentu yang akan bertanggung jawab. Dan jumlahnya cukup banyak. Di Indonesia, saya baru tahu kalo pemeriksaan sekarang dipusatkan di Litbangkes Kemkes. Jadi pusat kesehatan lain di Indonesia harus mengirim sampel. Padahal pengiriman sampel punya resiko merusak sampel itu sendiri kalo tidak dilakukan dengan alat yang benar dengan protokol yang sesuai. Juga punya resiko waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan hasil.
Di Korea, dalam sehari mereka bisa memeriksa ribuan sampel dalam sehari (karena fasilitas pemeriksaannya banyak). Waktu periksanya sekitar 6 jam (sampe hasil keluar). Di Jepang angka pemeriksaannya jauh lebih sedikit, dan waktu periksanya lebih lama. Sebagai solusi, sekarang PM Jepang menggelontorkan uang cukup besar untuk pengadaan alat PCR baru supaya pemeriksaan nanti bisa lebih cepat, lebih banyak dan lebih efisien, agar angka deteksinya naik. Entah bagaimana dengan Indonesia yang negaranya begitu luas tapi fasilitas pemeriksaannya hanya dipusatkan di Litbangkes dan harus melalui proses transport sample yang tidak mudah juga.
Well, this is purely based on my observation. Bisa salah, bisa bener. Setidaknya 5 hal ini yang saya temukan cukup berbeda dan berpotensi menyebabkan angka deteksi di Korea menukik drastis, sementara di Jepang cenderung naik tapi stabil.
Terakhir, pesan saya, keagresifan Jepang dan Korea jangan dijadikan sebagai alasan untuk menyalahkan ini itu di Indonesia. Lebih baik sekarang kita memahami apa kelebihan dan kekurangan kita. Jangan lupa, WHO sudah menekankan ini sebagai masalah darurat di dunia, sehingga lebih bijak jika kita juga siap, mau kasusnya cuma dua kek atau lebih. Nanti tinggal menunggu instruksi pemerintah mau se-agresif apa langkah di Indonesia.
Satu hal lagi yang menarik. Coba baca tulisan yang ditulis kakak kelas saya tentang penanganan COVID-19 di Singapore. Linknya disini https://irapoenya.wordpress.com/2020/02/27/singapura-dan-kesiapannya-terhadap-covid-19/?fbclid=IwAR23sAkFkzLGKGoiLgmNFDLsk4Yfupv6nFbqe7Q0qy1o8mZmKyIDrXcG3Zc. Disitu kelihatan banget bahwa salah satu langkah terpenting yang diambil pemerintah Singapore adalah public assurance. Berulangkali PM Singapore melakukan broadcasting untuk "menenangkan" masyarakatnya. PM Singapore menjelaskan langkah-langkah kesiapan COVID-19, menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok dan alat perlindungan, dan menjelaskan secara singkat tentang penyakit ini dan apa yang perlu dilakukan masyarakatnya.
Pengumuman tentang dua WNI positif COVID-19 hari ini mungkin perlu dibarengi dengan informasi-informasi penting kayak yang disampaikan PM Singapura. Ini saatnya untuk memenangkan kembali public trust di Indonesia dan international trust. Saya merasakan sendiri di Jepang ketika public trust kepada pemerintah itu hilang, begitu di"sebul" sama hoax tentang kelangkaan toilet paper dan tissue, orang-orang langsung berbondong2 menyerbu toko-toko untuk memborong. Padahal, stock negara masih banyak, pemerintah udah bilang tapi orang ngga ada yg peduli lagi. Ngeri kan? Ini baru tissue-tissuean, coba kalo issue yang berhembus adalah makanan pokok, bisa hancur ni negara.
Well, terimakasih yang sudah membaca sampe bawah. Tulisan ini adalah opini yang saya harapkan dapat membawa pencerahan kepada temen-temen. Sekali lagi, boleh percaya boleh tidak. Saya bukan ahli virologi, infectious disease atau ahli public health. Saya cuma mahasiswa yang peduli dengan tanah air tempat saya akan kembali ini.
Baiklah, udahan dulu ya, sekarang saatnya balik belajar yang laen.
Buat yang belum tau, hasil pemeriksaan di Indonesia pun bisa kita lihat di website yang khusus kasus infeksi emerging gitu. Linknya ini http://infeksiemerging.kemkes.go.id/
![]() |
Kasus konfirmasi bisa dilihat didalam box kuning sebelah kanan di website infeksi emerging ini |
Melihat informasi di Kemkes Indonesia, saya mengambil kesimpulan bahwa:
1. Indonesia mampu mendeteksi virus ini
2. Indonesia sudah punya guidelines yang jelas dan ini terstandar WHO
3. Indonesia juga sudah melaporkan secara jelas di website Kemkes. Jadi mestinya ngga ada yg kaget dengan jumlah tersebut, walaupun jumlahnya masih sedikit dibanding negara lain.
APA YANG BEDA?
1. Definisi kasus yang "agresif"
Baik di Jepang maupun Korea, mereka menggunakan 37,5celcius sebagai cut-off kriteria demam. Jadi bisa dibilang semua orang dengan gejala bapil, gejala common-cold dengan riwayat kontak atau perjalanan bisa ikut terjaring. Sehingga angka deteksi-nya besar. Tinggal nanti dibedakan mana yang masuk probabel, mana yang masuk suspek, terus diperiksa definitif (dengan PCR) dan dipastikan mana yang bener-bener kasus positif.
Guidelines dan sosialisasi di Jepang tentang gejala curiga COVID-19 |
2. Pelacakan kasus
Di Jepang, sekali ada kasus positif, orang yang pernah kontak sama dia dalam kurun 14 hari langsung di lacak dan dikarantina (kalo tidak ada gejala) atau diperiksa langsung (kalo ada gejala). Biasanya hasil pelacakan ini masuk berita di TV/koran. Sementara di Korea lebih agresif lagi pelacakannya, bahkan sampe tempat-tempat yang dilewati pasien positif langsung didatangi dan di disinfeksi secara besar-besaran. Saya setuju kalo penanganan COVID-19 di Jepang masih tergolong "santuy", ngga se-tegas di Korea.
Saya baru baca berita siang ini di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200302111534-20-479660/jokowi-umumkan-dua-wni-positif-corona-di-indonesia, ternyata ada dua WNI yang positif setelah dilakukan PELACAKAN KASUS. Makanya, pelacakan ini penting. Tapi darimana mulainya pelacakan kalo ngga ada yang "tertangkap" sebelumnya? Tetep, kita harus aware, tau kapan harus periksa dan kemana.
3. Transparansi dan ketersediaan informasi yang jelas
Di Jepang, tiap malem selalu ada konferensi pers soal kasus temuan baru, hasil contact tracing dan siapa aja yang dikarantina. Di website mereka juga terpampang jelas jumlah kasus mereka walaupun tidak sekomplit di Korea. Di Korea, informasi ini jelas banget ada di webnya, ada dimana2. Sehingga orang yang ngerasa sakit bisa langsung tahu harus menghubungi kemana dan dateng kemana, ngga perlu pusing-pusing dan tidak misdiagnosis. Walaupun di Jepang sudah ada hotline, dan sekarang hotline nya dibagi per prefektur. Jadi jelas untuk warga di tiap prefektur
Di Indonesia yang jelas kita punya hotlinenya juga kok, tolong dimanfaatkan ya! Walau tidak serapi Korea/Jepang, website kemkes ada juga update kasusnya. Dari kabar temen-temen saya dokter di Indonesia, beberapa rumah sakit sudah disiagakan dan disosialisasikan tentang penanganan COVID-19, jd jangan khawatir. Mungkin sebentar lagi akan ada sosialisasi sampe tingkat masyarakat tentang ini. Kalo informasi ini jelas, rujukan dan faskesnya jelas dan di sosialisasi, apalagi kalo kita melihat langsung kesiapan faskes2 di Indonesia, kayanya orang-orang ngga akan takut dateng ke Indonesia deh. Masyarakat pun ngga akan panik kalo sistemnya jelas, kayak di Singapura.
Ayooo perluas wawasan tentang kesiapan thd COVID-19! |
Yang ngga kalah penting adalah sosialisasi tentang kapan kita harus periksa juga. Biar orang Indonesia makin aware!
4. Pembiayaan
Biaya pemeriksaan COVID-19 ini bener-bener tidak murah. Namanya juga penyakit baru. Perawatannya pun juga bisa mahal dan murah, tergantung kegawatan. Di Korea, biaya pemeriksaannya sekitar 140 USD, biaya pengobatannya nanti bisa digratiskan karena ditanggung negara. Bahkan kalo mereka nantinya harus karantina atau masuk RS, gaji mereka dijanjikan tetap dibayar (baca di QnA). Jadi, mereka ngga khawatir diperiksa.
Di Jepang, biaya pemeriksaanya lebih mahal, antara 125 USD sampe 166 USD tergantung institusi yang memeriksa. Untuk menaikkan angka deteksi, akhirnya PM Abe memutuskan bahwa biaya pemeriksaan untuk COVID-19 akan ditanggung oleh asuransi nasional Jepang, sehingga warga Jepang cukup membayar 1/3 biayanya. Walaupun kalau nanti harus karantina atau masuk RS, tidak ada paid leave, alias gaji tidak dibayar, kecuali punya asuransi kerja dan si orang ini memenuhi syarat. Sehingga orang kadang mikir-mikir dulu sebelum memeriksaan diri. (CMIIW yah soalnya baca pake gugel translate. Baca di QnA ini).
Di Indonesia, saya cuma tahu harga pemeriksaan di ITD UNAIR seperti yang saya kutip di artikel sebelumnya. Tapi sekarang pemeriksaan di pusatkan di litbangkes, dan belum ada informasi apakah ini akan ditanggung BPJS atau bagaimana. Dan belom tau juga alokasi dana untuk kesiapan ini berapa. Yang heboh diberitakan malah alokasi biaya pariwisata.
5. Fasilitas
Informasi yang bagus sekali di Korea Selatan ttg COVID-19. Tandanya mereka sudah siap. |
Di Korea, dalam sehari mereka bisa memeriksa ribuan sampel dalam sehari (karena fasilitas pemeriksaannya banyak). Waktu periksanya sekitar 6 jam (sampe hasil keluar). Di Jepang angka pemeriksaannya jauh lebih sedikit, dan waktu periksanya lebih lama. Sebagai solusi, sekarang PM Jepang menggelontorkan uang cukup besar untuk pengadaan alat PCR baru supaya pemeriksaan nanti bisa lebih cepat, lebih banyak dan lebih efisien, agar angka deteksinya naik. Entah bagaimana dengan Indonesia yang negaranya begitu luas tapi fasilitas pemeriksaannya hanya dipusatkan di Litbangkes dan harus melalui proses transport sample yang tidak mudah juga.
Well, this is purely based on my observation. Bisa salah, bisa bener. Setidaknya 5 hal ini yang saya temukan cukup berbeda dan berpotensi menyebabkan angka deteksi di Korea menukik drastis, sementara di Jepang cenderung naik tapi stabil.
Terakhir, pesan saya, keagresifan Jepang dan Korea jangan dijadikan sebagai alasan untuk menyalahkan ini itu di Indonesia. Lebih baik sekarang kita memahami apa kelebihan dan kekurangan kita. Jangan lupa, WHO sudah menekankan ini sebagai masalah darurat di dunia, sehingga lebih bijak jika kita juga siap, mau kasusnya cuma dua kek atau lebih. Nanti tinggal menunggu instruksi pemerintah mau se-agresif apa langkah di Indonesia.
Satu hal lagi yang menarik. Coba baca tulisan yang ditulis kakak kelas saya tentang penanganan COVID-19 di Singapore. Linknya disini https://irapoenya.wordpress.com/2020/02/27/singapura-dan-kesiapannya-terhadap-covid-19/?fbclid=IwAR23sAkFkzLGKGoiLgmNFDLsk4Yfupv6nFbqe7Q0qy1o8mZmKyIDrXcG3Zc. Disitu kelihatan banget bahwa salah satu langkah terpenting yang diambil pemerintah Singapore adalah public assurance. Berulangkali PM Singapore melakukan broadcasting untuk "menenangkan" masyarakatnya. PM Singapore menjelaskan langkah-langkah kesiapan COVID-19, menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok dan alat perlindungan, dan menjelaskan secara singkat tentang penyakit ini dan apa yang perlu dilakukan masyarakatnya.
Pengumuman tentang dua WNI positif COVID-19 hari ini mungkin perlu dibarengi dengan informasi-informasi penting kayak yang disampaikan PM Singapura. Ini saatnya untuk memenangkan kembali public trust di Indonesia dan international trust. Saya merasakan sendiri di Jepang ketika public trust kepada pemerintah itu hilang, begitu di"sebul" sama hoax tentang kelangkaan toilet paper dan tissue, orang-orang langsung berbondong2 menyerbu toko-toko untuk memborong. Padahal, stock negara masih banyak, pemerintah udah bilang tapi orang ngga ada yg peduli lagi. Ngeri kan? Ini baru tissue-tissuean, coba kalo issue yang berhembus adalah makanan pokok, bisa hancur ni negara.
Well, terimakasih yang sudah membaca sampe bawah. Tulisan ini adalah opini yang saya harapkan dapat membawa pencerahan kepada temen-temen. Sekali lagi, boleh percaya boleh tidak. Saya bukan ahli virologi, infectious disease atau ahli public health. Saya cuma mahasiswa yang peduli dengan tanah air tempat saya akan kembali ini.
Baiklah, udahan dulu ya, sekarang saatnya balik belajar yang laen.
Ingat!
JANGAN PANIK
JANGAN MUDAH PERCAYA HOAX
BEKALI DIRIMU DENGAN PENGETAHUAN YANG BENAR LANGSUNG KE SUMBER TERPERCAYA
0 Komentar