Sudah sekitar 2,5 tahun ini saya "mengikuti" kehidupan seorang mualaf Jepang. Sebut saja dia Yunus. Nama islamnya emang itu sih hahaha. Saya kenal mas Yunus sejak 2,5 tahun lalu, dan saya ikut mengamati perjalanan dia sejak memutuskan memeluk Islam sekitar hampir 2 tahun yang lalu. Mulai dari yang awalnya ngga bisa sholat, sampe bisa sholat 5 waktu, yang tadinya ngga mengenal Tuhan, sekarang uda bisa berserah diri sama Tuhan, yang tadinya puasa bolong2 ngga jelas, sekarang bisa bangun sahur dan puasa penuh 30 hari.
Bisa sampe dititik yang sekarang tu ternyata perjuangan belajarnya luar biasa lho. Nah dari pengamatan saya, ada satu hal yang paling membutuhkan effort, pengorbanan, dan perjuangan yang luar biasa buat orang Jepang yang mualaf. Apa itu?
BERHENTI MINUM ALKOHOL
Elah. Kan banyak minuman lain? Masih bisa minum teh, kopi, coklat, dll. Lebih sulit sholat atau menghindari makan babi bukannya?
Saya pun dulu berpikir begitu. Saya kira, sholat itu bagian yg paling sulit. Karena harus hafal doa, harus 5x sehari, dsb. Ternyata ngga. Mas Yunus ini udah bisa sholat sejak tahun pertamanya jadi muslim. Dia belajar sholat langsung di Masjid. Di rumah, dia latihan sendiri pake buku yang dikasih sama temen-temen di Masjid (buku panduan sholat dalam bahasa Jepang buat anak-anak) yang itu praktis banget dan simpel banget. Buat membantu menghapal doa-doa, mas Yunus ternyata belajar dari audio (download dari itunes atau internet gitu) yang dia masukin ke HP, jadi bisa didengerin sewaktu-waktu. Begitu pula dengan bacaan-bacaan sholat lainnya, dia sering belajar dengan mendengarkan dari Youtube. Katanya, "seperti belajar menyanyi". Ternyata ngga sulit.
Mau sholat juga ngga sulit. Orang Jepang umumnya ngga peduli kamu mau sholat, mau akrobat, mau nari debus, asalkan itu tidak mengganggu orang lain. Sholat di tengah-tengah jam kerja juga ada yang memperbolehkan, asal kita ijin dan ngga sadar waktu (misalnya sholat disaat kerjaan tidak sibuk dan sholat tidak kelamaan karena kalo kelamaan itu artinya kamu mengganggu orang lain--orang yg ambil alih tugasmu pas kamu sholat). Dan orang Jepang sebenernya selalu punya opsi untuk ganti kerjaan kalo memang ibadah bener-bener dipersulit (mungkin lain kali bakal saya bahas soal orang Jepang yang 'ngga boleh menganggur'). Jadi, ngga sulit juga.
Selama tinggal di Jepang, saya sendiri ngerasain sulitnya menghindari makanan ber-babi. Soalnya ramen pake babi, snack yang enak-enak juga mengandung babi, kadang di makanan yang kelihatan biasa aja seperti takoyaki, sausnya pun ada babi-nya. Tapi ternyata buat mas Yunus ngga sulit menghindari makanan ber-babi. Basically, orang Jepang lebih ngga bisa hidup kalo ngga makan SEAFOOD. Sebenernya lebih banyak makanan olahan laut yang bisa dimakan. Dan ngga ada orang yang peduli kamu berhenti makan babi, berhenti makan daging, atau berhenti makan sama sekali di Jepang. Saya kenal baik keluarganya mas Yunus. Di keluarga mas Yunus, mereka biasa makan sayur atau olahan laut 6 hari dalam seminggu lho. Salah satu anggota keluarganya bahkan ada yang vegetarian garis (cukup) keras, dan ngga sulit buat beliau tinggal dan makan di Jepang. Lagipula daging selain babi di Jepang juga banyak dan yang halal masih bisa ditemukan.
Walaupun kadang kala dia suka becanda nyeletuk, "Untung aku udah pernah makan ramen babi xxxxx itu sebelum pindah (agama). Itu enak banget! Tapi itu dulu" atau
"Wah sayang aku belum nyoba restoran China itu sebelum pindah agama" hahaha.
Jadi kenapa kok menghindari alkohol itu sulit sekali?
Karena berdasarkan pengamatan saya, minum alkohol itu sudah seperti budaya, termasuk bagian dari norma, bagian dari kehidupan atau bisa dibilang etika juga. Bukan berarti ngga bisa, tapi butuh perjuangan yang lebih besar. Minum alkohol di Jepang itu bukan hanya sekedar melepas penat saja tapi juga mempengaruhi kehidupan sosial, semacam bagian dari sopan santun. Kadang orang Jepang minum alkohol sebagai bentuk penghormatan misalnya minum sama atasan, atau senior, atau sama bapak mertua, atau bahkan minum sama ayah/kakeknya.
Kakeknya mas Yunus sendiri tidak jarang nyeletuk.
"Temenin kakek minum bir yuk," sebelum akhirnya beliau inget, "eh, kamu sudah ngga minum ya"
Kadang-kadang kakeknya suka nggrundel, "Kenapa sih harus berhenti minum gitu? Segelas aja gapapa lah"
Sebagai cucu, saya yakin mas Yunus pasti ada rasa kepingin bisa "menyenangkan hati" kakeknya itu. Tapi keputusan sudah diambil, harus berkomitmen.
Di Jepang, umumnya orang ngga peduli kita makan apa, tidak makan apa, agamanya apa, dan sebagainya. Tapi begitu mereka tahu kita ngga minum alkohol, mereka biasanya kaget sekali dan menyayangkan. Ketika saya pertama ketemu orang tuanya mas Yunus pun, reaksi mereka juga begitu.
"Hah? Ngga pernah minum seumur hidup? Beneran?" dan"Kok bisa ya hidup ngga minum bir?"
Pas ketemu kakek-neneknya juga.
"Hah? Minuman enak kayak gini ngga minum? Kenapa kok harus begitu?"
Kalo lagi makan bareng temen-temennya mas Yunus pun begitu. Semacam ada set-list pertanyaan yang bakal ditanyakan teman-temannya begitu mereka tahu minuman apa yang kami berdua pesan. Mulai dari "kenapa?" sampe "kok bisa begitu?". Tapi salutnya, ngga jarang teman-temannya ini terus nggak jadi pesan minuman beralkohol untuk menghormati saya dan mas Yunus yang ngga minum. Kalaupun ada yang pesen pasti mereka mengawali dengan kalimat, "maaf ya, saya pesen bir".
Jadi alkohol, bir, sake, wine emang suatu entity yang ngga bisa dilepaskan dari kehidupan orang Jepang. Buat orang Jepang, hidup tanpa minuman beralkohol itu tidak bisa dibayangkan. Kecuali dengan alasan-alasan medis misalnya ya. Hal ini yang bener-bener jadi perjuangan buat mas Yunus. Urusannya bukan dengan diri sendiri saja, tapi jg ada sedikit hubungan dengan orang lain. Bukan hanya meninggalkan alkohol, tapi seolah meninggalkan separuh budaya-nya.
Makanya, komitmen itu penting sekali buat orang Jepang yang mualaf. Mas Yunus sendiri bukan orang yang suka bir, tapi dia suka banget wine (dan bisa menilai mana wine yang enak dan yang ngga enak). Tapi toh sekarang dia ngga minum sama sekali. Minuman zero alkohol pun dia ngga minum (karena menurut seorang waitress restoran mahal di Kyoto, minuman/bir zero alkohol itu belum tentu zero, kadang 0,001% pun ditulis zero). Jadi, kalo ketemu orang Jepang yang berhenti minum alkohol bukan karena alasan medis, apalagi karena alesan keagamaan, kita patut apresiasi itu. Ini bahkan level-nya lebih tinggi daripada berhenti pergi ke kuil.
Begitulah sekelumit pengalaman dari kaca mata saya yang ingin saya bagi sama temen-temen. Siapa tau bermanfaat buat temen-temen yang punya kenalan, teman, sahabat, pacar, atau suami orang Jepang yang sekarang belajar agama Islam. Saya sendiri juga ilmu agama ngga seberapa dan masih terus belajar juga, jadi mohon maaf kalo ada informasi yang dirasa kurang pas. Pengalaman ini bisa saja berbeda mungkin untuk orang Jepang yg lain, terutama untuk perempuan. Semoga bisa membantu membuka wawasan kita bersama.
Kalo ada pertanyaan atau diskusi, silahkan ke komen ya!
Ciao
0 Komentar