Melihat Kehidupan Mahasiswa S3 melalui Buku: The Courage to be Disliked



Mungkin sudah banyak temen-temen yang baca buku "The Courage to be Disliked". Saya sendiri baru baca 200 halaman pertama, tapi dari 200 halaman pertama itu, saya menyadari suatu poin yang mungkin akan berguna buat temen-temen yang sedang menjalani studi S3-nya. Ini bisa aja cocok dengan kisahmu, tapi bisa juga ngga cocok. Penasaran apa itu? Check it out

Chapter 2: All problems are interpersonal relationship problems.


Sepanjang isi buku ini, kita bakal dikejutkan dengan berbagai teori teleologi dari Adler's, seorang psikiatrist Austria yang mempunyai "pakem" yang disebut "Adlerian Psychology". Teori psikologis Adler ini berbeda dari teori psikologis yang umumnya kita kenal. Dari chapter awal kita sudah disuguhi dengan berbagai pandangan bahwa "trauma masa lalu itu tidak ada", "kemarahan hanyalah emosi palsu untuk mencapai tujuan tertentu", sampai ke "ketidak bahagiaan yang kita pilih sendiri". Agak mengerikan kalo didenger, tapi penjelasan teori Adler ini ada benarnya. Termasuk ketika di Chapter 2, buku ini menjelaskan tentang inferiority complex yang menurut pengalaman saya pernah terjadi ketika masa-masa awal saya memulai studi S3.

Inferiority Complex


Ada dua bahasan yang berbeda, feeling of inferiority dan inferiority complex. Berbeda dengan complex, feeling of inferiority ini adalah sesuatu yang positif, yaitu ketika kita menyadari kekurangan kita dan muncul keinginan untuk memperbaiki, untuk satu langkah ke depan. Perasaan ini muncul karena hubungan interpersonal kita dengan orang lain. Karena ada orang lain makanya kita jadi merasa "lebih buruk" atau merasa "lebih baik". Tapi perasaan inferior ini sebenernya penting untuk self-improvement, atau yang didalam buku disebut sebagai pursuit of superiority. Perasaan inferior ini penting untuk struggle kita agar nantinya kita menjadi lebih baik, lebih superior tapi dalam konteks yang baik.

Sedangkan inferiority complex menggunakan perasaan inferior ini sebagai alasan atau excuse untuk tidak memperbaiki diri. Misalnya, "coba aku pinter, pasti aku bisa lulus cepet", instead of berpikir bahwa, "karena aku ngga pinter, jadi aku harus lebih banyak belajar", orang dengan kompleks justru merasa "yodahlah, aku emang ngga bisa lulus cepet soalnya aku bodoh". Dan hal ini akhirnya mendorong mereka buat memiliki perasaan superior yang tidak sehat, atau dibuku disebut fabricated feelings of superiority. Jadi sebagai "pelarian" mereka akan mencoba menjadi superior di bagian lain, yang kemudian dimanfaatkan untuk boasting atau pamer, demi mendapatkan rasa lebih superior itu tadi. Jadi, ternyata pamer2 barang mewah, pamer2 kemampuan ini dan itu, bisa jadi sebenernya untuk menutupi inferior complex!

Rasanya "nge-jleb" alias tertohok banget pas baca bagian ini

Hal ini yang pernah saya rasakan diawal studi S3. Gimana enggak, ketika datang di lab, saya satu-satunya orang yang ngga memiliki pengalaman ilmiah sama sekali. Ngga pernah magang, ngga pernah bikin karya tulis ilmiah, apalagi publikasi, sementara temen-temen yang lain punya itu. Jadi, saya terus-terusan merasa "Duh, saya yang paling bodoh nih, gara-gara ngga ada pengalaman", terus "saya takut bertanya, soalnya saya bodoh sih", atau "saya ngga bisa sebagus itu hasilnya, soalnya saya kan bukan si W yang jago bgt". Perasaan itu mustinya justru bikin saya terpecut belajar, sayangnya saya sempet jatuh ke inferiority complex sehingga saya malah sibuk membanding2kan diri dan merasa paling helpless, yang tanpa saya sadari, ternyata perasaan helpless itu saya manfaatkan untuk merasa lebih superior! Saya merasa jadi yang paling helpless di lab, paling kasihan, dan orang lain ngga tau gimana rasanya berada di posisi saya sehingga saya merasa lebih superior di bidang ini, padahal mungkin sebagian orang juga pernah merasa begitu. Instead of mencoba belajar bagaimana mengeluarkan pendapat, bagaimana bertanya yang kritis, saya malah terus2an menyalahkan "coba aku dulu ikut magang2an yaa, pasti aku bisa lebih baik". 

Perasaan inferior itu pasti ada. Dan itu lumrah. Di buku ini juga dijelaskan. Yang salah adalah ketika kita mempersepsikannya sebagai kompleks. Sebaiknya kita mengarahkan kompleks ini ke feeling of inferiority, sehingga kita punya struggle  untuk melangkah lebih baik.

Life is Not A Comparison


Ini juga salah satu kesalahan saya. Pada tahun-tahun awal, saya sibuk mengagumi kesuksesan oranglain. Sibuk terkesima dengan mas ini yang penelitiannya udah begini-begitu, mbak ini yang udah begitu, mas ini presentasi ini itu, mbak itu menang award, dan sebagaimana macamnya. Terus membandingkan dengan diri sendiri, "Duh, uda tahun kedua kok penelitian ngga maju2", atau "Duh, tahun kedua mbak itu dulu uda presentasi, kok aku belum ya?". 

Nah, karena sibuk membanding-bandingkan, mulai muncul perasaan "takut kalah", "takut ngga bisa sehebat itu", dan perasaan2 kayak "pokoknya aku harus lebih menang dari dia". Dan akhirnya, semua temen-temen jadi terasa seperti saingan, seperti musuh, atau energi negatif di dalam lab. Padahal, kalo kita ngga sibuk membanding2kan, temen-temen itu justru sosok positif yang bisa membantu kita ketika kita lagi sulit, bukannya jadi saingan! Toh sebenernya penelitian kita dan temen kita tu ngga sama. Mau gimana pun juga ya ngga bisa dijadiin bandingan donk! Kesamaan kita dan temen-temen adalah sama2 pingin maju, sama2 pingin segera selesai studi. Jadi, jangan sampai kita menghabiskan waktu memandangi kerjaan kita dan membandingkan dengan kerjaan orang lain. Karena sebenernya orang lain juga belum tentu peduli sama kerjaan kita. Berpikir bahwa orang lain memandang kita rendah itu sebenernya cuma dikepala kita aja. It's only in your head!

Pada saat mulai memasuki tahun ketiga, barulah saya berdamai dengan diri sendiri. Saya mulai mengakui kekalahan, kalau dibuku ini disebutnya "admitting fault is not defeat". Emang kedengeran cemen, kok menyerah, gitu kan? Tapi kalo kita terus-terusan membanding2kan, menganggap semua orang musuh, suatu saat kita akan jatuh pada kondisi "perkelahian" yang bisa melahirkan "balas dendam". Nah kalo udah masuk ke sini, udah kayak lingkaran setan. Isinya pingin menang, pingin menang, pingin jadi yang terbaik terus, nanti kalau gagal sedikit trus jadi cenderung pingin bales dendam. Akhirnya, CAPEK! Kalo memang energi itu bikin kita semakin maju, it's totally okay. Tapi kalo malah bikin capek, berarti kita arah kita kurang tepat.

Jadi, berhenti dan mengaku kalah itu ngga selalu buruk. Mengakui bahwa penelitian saya ini emang nggak flawless, banyak kekurangan juga, justru dari situ saya belajar banyak dan berkembang. Mengakui bahwa saya memiliki kekurangan seperti "ngga rapi kalo bikin western blotting" atau "hasil PCR sering gagal", mengakui bahwa si X lebih jago ngecek protein daripada saya, si Z lebih jago presentasi, dari situ justru saya belajar banyak dari orang-orang tersebut. Akhirnya, saya bener-bener bisa moving forward kearah yang lebih baik!



Saya kaget waktu baca buku ini lembar demi lembar. Kayak flashback di masa-masa itu. Jadi inget si A suka pamer ini, si B suka pamer itu, trs ngerasa "ooh... mungkin sebenernya mereka punya inferiority complex juga kali ya?". Terus ngerasa kalo kehidupan di lab itu relate banget sama chapter ini. Ngga sabar pingin baca kelanjutannya.

Jadi, pesen saya, kehidupan PhD atau studi S3 ini bukan kompetisi. Ngga ada yang peduli sama kerjaanmu selain dirimu sendiri, jadi stop membanding2kan sama kerjaan orang lain! Dan berhentilah merasa paling hebat, karena keilmuan itu luas, akan selalu ada hal-hal yang ngga kita ketahui. Tapi kalo itu memang yang kamu rasakan, berarti kamu perlu ngecek, apakah ada inferiority complex yang berusaha kamu tutupi?

Kalo pesan senior saya dulu, "gelas yang paling sulit diisi adalah gelas yang sudah penuh". Orang yang paling susah dididik atau diisi gelasnya, adalah orang yang sudah penuh gelasnya alias sudah "merasa" puiiinntteeerrrr pol. Orang bijak akan senantiasa mengganti gelasnya dengan gelas yang lebih besar lagi tiap kali gelasnya hampir penuh. Jangan merasa kecil, apalagi sampe inferior complex hanya karena gelasmu kosong. Semua orang pernah di posisimu. Manfaatkan kondisi ini untuk mengisi gelas se-penuh2nya!

Lastly, pengalaman ini mungkin belum tentu sama untuk semua orang.
Yang jelas, tetep semangat buat temen2 PhD atau S3 dimanapun berada! We can do it!


Posting Komentar

0 Komentar