Penyakit psikosomatis, shopping dokter, dan mental health: the real deal for Graduate student



Kali ini saya ingin sedikit cerita tentang hal-hal yang sering dianggap remeh, yaitu mental health, dan kaitannya dengan perjalanan saya sekolah S3 di Jepang. Saya menulis ini karena saya yakin kejadian yang sama bisa dialami oleh temen-temen dari disiplin lain yang sedang menempuh S3, atau mungkin dari temen-temen yang bekerja dengan stressor yang tinggi. 

Istilah doctor shopping mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang.  Kalau guru-guru saya bilang dulu shopping dokter. Ini maksudnya bukan dokter yang suka belanja ya. Menurut literatur:
"Doctor shopping is defined as seeing multiple treatment providers, either during a single illness episode or to procure prescription medications illicitly. " (Sansone&Sansone, 2012) . 2012 Nov-Dec; 9(11-12): 42–46.
Jadi, shopping dokter itu bukan dokternya yang belanja, tapi fenomena seorang pasien yang "belanja" dokter kesana kemari, umumnya karena gejala yang sama. Tapi ini berbeda dengan meminta second opinion ya.

Sebagai dokter umum, saya juga kerap menemukan pasien yang terindikasi shopping dokter. Dan sebagian besar pasien tersebut kalo diperiksa, sebenernya ngga ada masalah di organ-nya. Ini yang kalo di dunia kedokteran disebut penyakit psikosomatis. Secara fisik, secara somatis, pasien tersebut sehat, ngga ada abnormalitas, tapi secara psikis merasakan sakit, merasakan sesuatu yang abnormal. Kadang kalau bertemu dengan pasien yang seperti ini saya sering bingung. Gimana engga, pasien itu sebenernya sehat lho. Yang mananya yang harus saya sembuhkan?

Sampai akhirnya saya benar-benar berdiri sebagai si pasien.

Saya ingat tahun lalu, ketika saya menjadi mahasiswa S3 di tahun terakhir. Ada satu titik dimana saya sakit. Bukan sakit yang berat, tapi saya merasa quality of life saya terganggu. Perut terasa tidak nyaman, konstipasi sampai berhari-hari, padahal BAB-nya ngga keras, dan makan seperti biasa. Ditambah lagi menstruasi saya yang tiba-tiba siklusnya memanjang, lebih panjang daripada biasanya. Saya langsung mendiagnosis tubuh saya sendiri. Kesimpulannya, saya curiga ada kelainan di organ dalam perut saya, tapi tidak punya modalitas untuk membuktikannya. Akhirnya saya pergi ke klinik.

Baik dokter maupun saya terkejut, meskipun saya yakin dengan gejalanya, saya curiga ada kelainan ini itu, tapi ternyata dokter tidak menemukan apapun. Bahkan dokter melakukan berbagai macam pemeriksaan, mulai pemeriksaan auskultasi biasa (dengan stetoskop), X-ray, hingga USG hanya untuk meyakinkan bahwa perut saya baik-baik saja. Karena tidak yakin, beberapa hari kemudian saya memeriksakan diri ke dokter yang lain, hanya untuk kesimpulan yang sama. Saya sehat. Meskipun sudah dilakukan pemeriksaan USG ternyata tidak ketemu apa-apa. Sama seperti dokter pertama, dokter kedua pun bingung menghadapi saya, apalagi mengetahui bahwa saya juga dokter. 

Hampir saja saya akan pergi ke dokter ketiga, untungnya saya sadar bahwa biaya berobat di dua dokter pertama sudah cukup mahal (walaupun biaya dokter 70% di-cover oleh asuransi, di Jepang biaya pemeriksaan seperti X-ray dan USG tetap saja mahal, apalagi buat anak rantau beasiswa). Dalam seminggu itu saya sudah menghabiskan sekitar 10.000 yen sendiri (~1,3 juta) hanya untuk berulang kali dibilang "Anda sehat". Akhirnya saya memutuskan untuk menghabiskan obat dari dokter pertama, walaupun saya tidak merasakan manfaat dari obat tersebut. 

Usut punya usut, ternyata kala itu fisik saya memang tidak sakit, tapi psikis saya. Waktu itu saya memasuki tahun terakhir PhD, tuntutan untuk segera menerbitkan pekerjaan saya sangatlah besar dan saya merasa tertekan. Apalagi dibimbing oleh salah satu supervisor saya yang sangat keras dan galak (dan menyebalkan). Salah satu percobaan yang menentukan nasib saya pun ternyata hasilnya tidak bagus, membuat saya merasa semakin sesak, takut, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dihantui kemungkinan tidak bisa lulus tepat waktu. Rasa takut, sesak dan tertekan itu ternyata menjadi stressor yang berat untuk saya, dan menimbulkan penyakit psikosomatis untuk saya.

Dan ketika percobaan saya selesai, tiba-tiba perut saya tidak lagi sakit. Menstruasi kembali datang. Ketika itulah saya sadar, "oh, ternyata bukan fisik saya yang sakit". Tanpa disadari saya telah melakukan perilaku shopping dokter.  Dan itu didorong oleh psikis saya yang "merasa sakit". 

Secara ilmiah, hubungan antara stress dengan kondisi tubuh memang bisa dijelaskan. Kalo dijelaskan akan sangat panjang dan rumit, menyangkut sistem saraf dan neurotransmitternya dan blablabla (tanya dokter saraf atau psikiatri lebih manteb nih). Yang intinya, pikiran kita memang bisa mengatur kondisi tubuh kita. Pikiran kita bisa menantukan kesehatan kita. Maka dari itu, WHO mendefinisikan "kesehatan" sebagai berikut:
"Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity."
Sehat itu bukan hanya sehat secara fisik. Bukan hanya tidak ada penyakit fisik. Tapi juga MENTAL dan SOSIAL. Karena ketika mental kita sakit, maka fisik kita pun bisa sakit. Sayangnya banyak orang ngga sadar pentingnya menjaga kesehatan mental.

Untuk itu, buat temen-temen pejuang S2, pejuang S3, pejuang PPDS, temen-temen pekerja dengan stresor berat, selalu ingat, jaga kesehatan mental-mu. Do whatever you need to do to refresh your self, to heal yourself. Saya yakin temen-temen yang sedang S2 atau S3 juga banyak yang mengalami hal serupa. Hang in there! Find help! Kesehatan mental akan berpengaruh ke kesehatan fisik, dan tentu saja berpengaruh ke quality of life. Ketika kesehatan mental kita terjaga, maka produktifitas juga akan baik.

Jangan meremehkan kesehatan mental. Kalau perlu, jangan ragu-ragu untuk konsultasi ke dokter psikiatri, atau ke psikolog. Saya yakin, saya bukan orang pertama yang mengalami hal-hal seperti ini. Saya beruntung saya memiliki pemahaman tentang apa itu penyakit mental dan efeknya. Sayangnya, banyak yang masih belum mengerti. So, let's educate our surrounding!

It's okay to not be okay.
And it's totally okay to seek help to professionals!

Posting Komentar

0 Komentar