Banyak orang memilih negara Jepang untuk melanjutkan studi mereka. Pendidikan memang menjadi salah satu komoditas di Jepang. Selain karena memang keilmuan mereka termasuk yang maju di wilayah Asia, kemajuan teknologi, kondisi negara yang cenderung kondusif untuk belajar, dan keunikan budaya (termasuk anime dan dorama) yang menjadi salah satu daya tarik untuk melanjutkan studi kesini. Apalagi Indonesia menjadi salah satu mitra kerjasama negara Jepang, sehingga tidak sedikit pelajar Indonesia yang dikirim dalam rangka kerjasama institusi untuk menuntut ilmu di negara ini.
Buat saya, melanjutkan pendidikan ke negara ini sudah menjadi mimpi saya sejak kecil, karena sejak kecil saya terlalu banyak terpapar Doraemon dan Sailor Moon yang membuat saya penasaran dengan "kecanggihan" negara ini. Selain itu, negara Jepang memang sudah lama terkenal "kecanggihan"nya di bidang basic medical science research. Apalagi dengan lokasinya yang relatif lebih dekat dengan tanah air (supaya kalo ada acara keluarga, bisa pulang ke Indonesia dengan cepat), akhirnya saya memantapkan diri untuk melanjutkan studi disini.
Saat ini saya akan memasuki tahun terakhir sebagai mahasiswa PhD di Jepang. Banyak sekali ups and downs, kecewa, sakit hati, senang, proud moment, sampai masa-masa kelam yang bisa bikin depresif selama 3 tahun saya bekerja di bidang basic cardiovascular science research. Memang saya masih jauh dari kata "selesai" dalam hal studi saya, jadi belom pantes-lah untuk ngasih tips n trik dan semacamnya, apalagi menggurui.
Tapi disini saya cuma pingin sekedar berbagi aja informasi seputar kehidupan studi S3 di Jepang, mungkin khususnya di ranah kedokteran, yang dimana saya berharap teman-teman tahu sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi kemari. Karena perbedaan budaya dan kehidupan penelitian yang lab based ini bisa berpengaruh sama kualitas hidup dan end result nya lho.
Yuk, sambil sedikit curcol, mari kita kupas perlahan!
Supervisor di lab saya sendiri pernah menyarankan, "Kalo kamu punya waktu lebih, sebaiknya waktu itu kamu habiskan di dalam lab". Kerasa kan gimana kerasnya kehidupan lab?
Banyak teman-teman dan senior saya yang pernah mengatakan bahwa kalo kita sekolah di Jepang, kita itu bak romusha, yang ditekan dan dipekerjakan dengan keras. Well, itu emang bener sih. Tapi sebenernya itu lebih kearah budaya mereka, budaya kerja keras. Bahkan diantara orang Jepang sendiri pun, budaya itu tetap kental terasa, bukan serta merta karena kita orang asing yang patut diperbudak lho.
Tonton juga channel Youtube saya IndyRins
Yuk, sambil sedikit curcol, mari kita kupas perlahan!
Budaya Kerja Keras yang Kental
Kerja keras.
Satu kata yang sangat penting dan perlu kita camkan baik-baik kalo mau lanjut studi di Jepang. Kenapa? Karena disini pintar saja ngga cukup. Selain harus didukung dengan attitude yang baik, juga harus ditunjang dengan kemauan untuk bekerja keras. Dan ini juga menjadi salah satu penilaian supervisor terhadap kita juga.
Di Jepang, "kuantitas" juga menjadi salah satu penilaian selain "kualitas" studi kita. Misalnya, dari segi jam kerja. Ini menjadi salah satu perbedaan yang cukup mencolok tiap kali saya membandingkan budaya studi di Jepang dengan di negara barat.
Di negara barat, jam kerja para PhD candidate adalah sekitar 8jam sehari, sama seperti jam kerja pada umumnya di negara tersebut, walaupun tetep ada yang namanya ngelembur ketika pekerjaan kita memang belum selesai. Sementara di Jepang, tidak sedikit anak S3 yang bekerja mencapai 10-12jam dalam sehari, lebih lama daripada orang kerja kantoran. Apalagi kalo bidang yang kita geluti adalah bidang yang lab based.
Di Jepang, seberapa lama dan seberapa sering kita menghabiskan waktu di lab bisa menjadi suatu poin penilaian sendiri lhor. Nggak sedikit supervisor yang menilai seberapa gigih dan rajin muridnya berdasarkan lamanya dia bekerja di lab. Makanya nggak heran kalo di Jepang banyak lab yang punya kebijakan "Hari libur tetap bekerja di lab".
Di Jepang, seberapa lama dan seberapa sering kita menghabiskan waktu di lab bisa menjadi suatu poin penilaian sendiri lhor. Nggak sedikit supervisor yang menilai seberapa gigih dan rajin muridnya berdasarkan lamanya dia bekerja di lab. Makanya nggak heran kalo di Jepang banyak lab yang punya kebijakan "Hari libur tetap bekerja di lab".
Supervisor di lab saya sendiri pernah menyarankan, "Kalo kamu punya waktu lebih, sebaiknya waktu itu kamu habiskan di dalam lab". Kerasa kan gimana kerasnya kehidupan lab?
Banyak teman-teman dan senior saya yang pernah mengatakan bahwa kalo kita sekolah di Jepang, kita itu bak romusha, yang ditekan dan dipekerjakan dengan keras. Well, itu emang bener sih. Tapi sebenernya itu lebih kearah budaya mereka, budaya kerja keras. Bahkan diantara orang Jepang sendiri pun, budaya itu tetap kental terasa, bukan serta merta karena kita orang asing yang patut diperbudak lho.
"Manut" menentukan segalanya
Manut, alias ngikut adalah salah satu budaya yang terasa di lingkungan kerja, dimanapun di Jepang. Orang Jepang memang sangat "hierarkial", "lurus" dan "teratur". Yang diposisi puncak hierarki membuat aturan, yang lainnya mengikuti dengan patuh, alias "manut saja".
Karena memang bentuk masyarakatnya yang sangat homogen (trust me, mereka ngga punya konsep semacam Bhinneka Tunggal Ika gitu, jadi semuanya serba sama dimana-mana). Orang-orang yang "kreatif" dan "out of the box" kadang jadi terlihat seperti orang yang membangkang.
Dalam kehidupan studi juga seperti itu. Bukan berarti orang Jepang tidak terbuka dengan ide, saran, atau kritik lho, tapi disini kita harus belajar untuk "manut" dan tidak merusak keteraturan mereka. Kalo ada hal yang dirasa kurang pas, atau kita mau mengajukan ide, kita harus benar-benar mempersiapkan diri dan mengutarakannya dengan sangat hati-hati dan smooth. Utarakan dengan bahasa (bukan literal) dan attitude mereka. Karena, salah sedikit bakal disangka membangkang, and it never ends well.
Sebelum saya berangkat ke Jepang, dosen pembimbing saya di fakultas kedokteran juga berpesan, katanya, "kalau di Jepang, hati-hati. Manut sama gurunya ya. Soalnya dulu pernah ada dosen bagian xxxx yang pulang dari sekolah 5 tahun di Jepang tapi ngga bawa titel gara-gara ngga cocok sama gurunya". Awalnya saya kira itu cuma kalimat motivasi aja, tapi ternyata kenyataanya gitu.
Dalam kehidupan studi juga seperti itu. Bukan berarti orang Jepang tidak terbuka dengan ide, saran, atau kritik lho, tapi disini kita harus belajar untuk "manut" dan tidak merusak keteraturan mereka. Kalo ada hal yang dirasa kurang pas, atau kita mau mengajukan ide, kita harus benar-benar mempersiapkan diri dan mengutarakannya dengan sangat hati-hati dan smooth. Utarakan dengan bahasa (bukan literal) dan attitude mereka. Karena, salah sedikit bakal disangka membangkang, and it never ends well.
Sebelum saya berangkat ke Jepang, dosen pembimbing saya di fakultas kedokteran juga berpesan, katanya, "kalau di Jepang, hati-hati. Manut sama gurunya ya. Soalnya dulu pernah ada dosen bagian xxxx yang pulang dari sekolah 5 tahun di Jepang tapi ngga bawa titel gara-gara ngga cocok sama gurunya". Awalnya saya kira itu cuma kalimat motivasi aja, tapi ternyata kenyataanya gitu.
Kalo kita membangkang, bisa saja studi kita yang sudah lama diperjuangkan akan di"hangus"kan begitu saja. Dan ternyata ada juga lho mahasiswa S3 yang first authorship-nya dicopot dari paper yang dikerjakan selama bertahun-tahun. Semua kembali pada posisi hirarki yang paling atas. Sebagai mahasiswa yang berada di posisi paling bontot, ya manut saja, daripada ngga dilulusin, yekan?
Dan semua itu kembali lagi ke supervisor kita. Makanya, kalo kata temen-temen saya, nyari supervisor atau guru atau sensei kita itu layaknya nyari jodoh. Nyarinya harus hati-hati banget, karena bakal sangat menentukan nasib kita kedepannya, kita harus senantiasa "manut" sama supervisor sih. Saran saya, cari tahu betul-betul siapa supervisor kita, bagaimana lingkungannya, bukan hanya dari sumber-sumber umum seperti dari website, tapi juga dari para alumnus yang tahu betul kondisi aktual-nya.
Dan semua itu kembali lagi ke supervisor kita. Makanya, kalo kata temen-temen saya, nyari supervisor atau guru atau sensei kita itu layaknya nyari jodoh. Nyarinya harus hati-hati banget, karena bakal sangat menentukan nasib kita kedepannya, kita harus senantiasa "manut" sama supervisor sih. Saran saya, cari tahu betul-betul siapa supervisor kita, bagaimana lingkungannya, bukan hanya dari sumber-sumber umum seperti dari website, tapi juga dari para alumnus yang tahu betul kondisi aktual-nya.
This is a man's world
Saya bukan feminist atau apa ya (saya bahkan ngga ngerti konsep feminist, gomen!), tapi memang gender issue masih menjadi masalah di Jepang. Di dalam kehidupan sosial di Jepang, posisi laki-laki dan perempuan memang tidak pernah sama. Laki-laki terjun ke dalam masyarakat, sementara perempuan bekerja di rumah, ini adalah tatanan sosial yang ideal di Jepang.
Masalah diskriminasi gender ini memang sudah berlangsung sangat lama, tapi hal ini semakin heboh ketika praktik pembatasan gender pada saat ujian masuk universitas terbongkar, termasuk ujian masuk di fakultas kedokteran. Akhirnya saya tahu, kenapa mayoritas dokter di Jepang adalah laki-laki. Sehingga, tiap kali saya datang ke seminar, conference, dan semacamnya, 90% partisipan-nya pasti laki-laki.
Bukan cuma masalah seminar aja, tapi di dalam lingkungan lab pun lumayan terasa. Member perempuan di dalam lab (bukan cuma mahasiswa perempuan aja lho) kerap dipandang sebelah mata. Walaupun ada juga lab yang tidak seperti itu, bahkan ada juga lab yang dipimpin perempuan, tapi buat temen-temen perempuan yang hendak melanjutkan studi, sebaiknya mempersiapkan mental baik-baik ya. Apalagi secara natural perempuan memang memiliki keterbatasan seperti kondisi hamil, punya anak, harus merawat anak, jadi sebaiknya kita perlu memastikan bahwa lingkungan lab memang kondusif buat kita, dan tetap harus mempersiapkan diri untuk bisa bekerja keras "seperti laki-laki" hehehe.
Persistent and perseverance adalah kunci
Kalau anda beruntung, anda mungkin mendapatkan bimbingan dari supervisor yang mengerti betul bahwa waktu studi anda sangat terbatas. Tapi tidak sedikit murid S3 di Jepang yang "molor" dari jadwal kelulusannya karena paper-nya masih belum juga tuntas.
Orang Jepang itu bak semut pekerja. Mereka itu gigih dan sabar. Alon-alon asal kelakon. Sangat hati-hati dan sangat gigih, persistence and perseverance, terutama kalo mau menembus paper dengan impact factor yang tinggi. Buat para associate professor (bawahannya profesor), menembus paper dengan impact factor tinggi sangatlah penting untuk menunjang karir mereka, sehingga mereka dengan gigihnya akan bertempur memasukkan paper kita ke jurnal setinggi-tingginya impact factor. Sebagai mahasiswa yang posisi hirarkinya paling rendah, ya kita harus--sekali lagi--manut. Dan kita harus mengikuti persistent dan perseverance-nya supervisor kita, walaupun kadang kita harus berkorban dengan molornya studi kita.
Buat orang Jepang, 5 atau 6 tahun bekerja untuk satu paper, dianggap hal yang lumrah, apalagi ke jurnal besar. Padahal kita para calon PhD cuma punya waktu 4 tahun. Kalo udah gini, ya sabar aja. Coba lagi terus. Persistent and perseverance. Siapa tahu bisa selesai lebih cepat dari targetnya. Dan jangan lupa, manut. Ojo mbangkang.
Buat orang Jepang, 5 atau 6 tahun bekerja untuk satu paper, dianggap hal yang lumrah, apalagi ke jurnal besar. Padahal kita para calon PhD cuma punya waktu 4 tahun. Kalo udah gini, ya sabar aja. Coba lagi terus. Persistent and perseverance. Siapa tahu bisa selesai lebih cepat dari targetnya. Dan jangan lupa, manut. Ojo mbangkang.
Bersiap dengan "Drama"
Banyak orang ngga percaya kalo saya bilang orang Jepang itu kayak orang Jawa. Mereka lain dimulut lain di hati. Kalo ada apa-apa ngga ngomong di depan, bisa jadi ngomong di belakang atau lebih ekstrim lagi tiba-tiba kamu dikasih eksperimen yang berat diluar studi utama kita. Orang Jawa bilang, mbendol ning mburi.
Sudah menjadi budaya orang Jepang untuk selalu memperhatikan kepentingan umum dan tidak mengganggu lingkungan, sehingga orang Jepang sangat pandai menutupi emosi mereka, menutupi ketidak sukaan, ketidak nyamanan, atau ketidak setujuan mereka dihadapan kita, demi menjaga dinamika lingkungan di lab. Situasi seperti inilah yang berpotensi menimbulkan drama, dengan diawali ketidak-sepahaman. Jadi, ini bukan masalah komunikasi semata, tapi masalah persepsi budaya juga.
Untuk itu kita harus pandai membaca atmosfer. Pandai membaca situasi. Pandai memahami apakah supervisor kita menyukai hasil pekerjaan kita, apakah ide kita disetujui, apakah penyampaian kita sudah bagus, apakah kita sepaham, bagaimana penelitian ini akan dibawa kedepannya. Trust me, mereka ngga akan bicara segamblang orang barat bahkan untuk hal yang obvious sekalipun. Bukan tidak jujur lho.
Budaya timur harus tetap dijunjung
Maklum, masih sama-sama orang Asia, dimana attitude selalu menjadi titik penilaian yang paling berat. Di Jepang pun juga begitu. Walaupun orang Jepang layaknya orang negara maju lainnya seperti Amerika, tapi mereka masih sangat menjunjung tinggi sopan santun jauh diatas inteligensi.
Khusus di Jepang, ada norma-norma kesopanan yang sangat penting untuk dijunjung, seperti menghormati yang lebih tua (baik senior atau bukan), tidak mengganggu orang lain, menjaga barang milik umum dengan baik, jujur, rajin dan tekun. Dan ini harus benar-benar dijalani dalam kehidupan bekerja di dalam lab sekalipun lho. Ingat, nilainya lebih tinggi daripada inteligensi.
Okay, enam sub-bahasan tadi adalah poin-poin yang (menurut saya) terpenting buat temen-temen yang pingin lanjut di Jepang. Bukan hanya bagi saya, tapi beberapa temen yang juga sedang berjuang di Jepang pun merasakan hal yang sama.
Sebenernya, Masih ada banyak poin lagi yang bisa dikupas, yang intinya "studi di Jepang (mungkin) tidak seindah yang kamu duga" hehehe. Bukan bermaksud menakut-nakuti lho, tapi hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk lanjut studi disini, sehingga nantinya ngga kecewa ketika menemukan bahwa faktanya tidak seindah kelihatannya di social media hahahaha.
Tapi kembali lagi, ini hanya opini saya. Di laboratorium laen bisa aja berbeda pengalamannya. Bahkan antara saya dan teman lab yang lain bisa juga berbeda opini. Semua tergantung persepsi budaya masing-masing. Yang jelas, saran saya, kalau mau ke Jepang, pastikan kamu siap SABAR, KERJA KERAS, dan NRIMO. Hehehe
Tapi kembali lagi, ini hanya opini saya. Di laboratorium laen bisa aja berbeda pengalamannya. Bahkan antara saya dan teman lab yang lain bisa juga berbeda opini. Semua tergantung persepsi budaya masing-masing. Yang jelas, saran saya, kalau mau ke Jepang, pastikan kamu siap SABAR, KERJA KERAS, dan NRIMO. Hehehe
Tonton juga channel Youtube saya IndyRins
0 Komentar