Menjawab pertanyaan seputar S3 di Jepang!


Halo temen-temen pembaca blog yang budiman!

Seperti yang sudah saya post di instagram dan twitter saya, dalam post kali ini saya ingin menjawab pertanyaan temen-temen seputar S3 di Jepang.

Sebagai introduksi, saya saat ini sedang menempuh S3 dibidang basic cardiovascular science research di Kobe University, yang mana 90% waktu saya habiskan didalam lab, bereksperimen seputar penyakit jantung, dan bukan ke pasien alias non-klinik. 

Saat ini saya sudah di tahun terakhir saya, dan banyak sekali hal-hal yang sudah saya alami, yang pahit maupun yang manis hehehe. Sekarang saya mencoba menjawab pertanyaan teman-teman, berdasarkan pengalaman saya selama di Jepang. Tapi mungkin ngga semua pertanyaan akan saya jawab, jadi mohon maaf sebelumnya kalo ada yang belom terjawab, silahkan dikomen langsung aja, nanti saya jawab.

So, here we go!!

1. Sekolah di Jepang, apakah ada language barrier? Baik dalam perkuliahan maupun diskusi dengan Supervisor?

Jawabannya, tidak.
Jepang memang terkenal dengan masyarakatnya yang tidak fasih berbahasa asing (termasuk bahasa inggris), tapi di dunia akademik, sangat jarang saya temui pengajar atau supervisor yang ngga bisa berbahasa Inggris. Bahkan mayoritas dari mereka adalah lulusan universitas top di Amerika. (Sepertinya memang suatu keharusan mengenyam pendidikan di barat sana sebelum jadi profesor di Jepang) Jadi soal diskusi sama supervisor, jangan khawatir. Mereka fasih berbahasa Inggris, dan ngga ada kewajiban bagi kita untuk diskusi dalam bahasa Jepang, meskipun beberapa profesor men-encourage kita untuk berbahasa Jepang. Sekali lagi, bahasa Jepang tidak harus dalam jenjang pendidikan kita.

Untuk perkuliahan, dalam jenjang S3 perkuliahan bobotnya cuma 10% aja, atau bisa dibilang saya hanya kuliah beberapa kali aja selama 3,5 tahun terakhir. Dan jenjang S3 pasti memiliki international course, jadi tentu saja perkuliahan dilakukan dalam bahasa inggris (goal-nya S3 kan publish di international journal, so, jelas bahasa inggris diutamakan dong). Lain halnya dengan S1 atau S2, kita harus bener-bener mencari informasi apakah di universitas tujuan kita tersedia international course dengan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar. Karena, kalo ngga ada, artinya semua perkuliahan dilakukan dalam bahasa Jepang.

Yang menjadi barrier sebenernya bukan languange, tapi justru culture. Selalu ingat dikepala, bahwa budaya di Jepang sangat berbeda, terutama BUDAYA BEKERJA-nya. Kita harus paham betul perbedaan budaya ini, supaya kedepannya kita ngga terlalu kaget dan ngga terlalu kecewa dengan kenyataan yang tidak semanis bayangan kita. (Baca ulasan saya tentang ini disini: https://rumahindik.blogspot.com/2019/02/bekal-penting-sebelum-melanjutkan-s3-di.html)

Me, my supervisor's asisstant, and my supervisor

2. Gimana dengan kehidupan sehari-hari, ada language barrier juga?

Tenang aja! Mayoritas orang Jepang emang enggan berkomunikasi dalam bahasa inggris, bukan karena mereka ngga paham, tapi karena mereka malu untuk ngomongnya. Jadi santai aja.

Basically mereka adalah tipe-tipe orang Asia yang helpful banget, yang selalu pingin membantu sebisa mereka. Jadi walaupun dengan bahasa tarzan, mereka bakal ngebantu banget. Apalagi kalo kamu bisa bahasa mereka. Walaupun sedikit aja, mereka bakal appreciate banget. Percaya ngga percaya, ketika kamu berbahasa Jepang, kamu bakal dapet benefit yang lebih. Sudah kubuktikan sendiri. Sedikit aja berbahasa Jepang, kamu bakal merasakan sendiri perbedaan perlakuannya.

Tapi beda lagi kalo kamu mau kerja, baik full-time, atau baito alias part-time job. Bahasa Jepang is mandatory! (tapi aku ngga ada pengalaman buat yg ini hehe).

3. Perlu persiapan khusus dalam hal berbahasa?

Nggak perlu persiapan khusus sih. 
Saya sendiri 10 tahun yang lalu udah lulus N4 Profisiensi tes bahasa Jepang. Tapi begitu sampe Jepang saya juga masih pake bahasa tarzan dan tetep baik-baik aja kok. Banyak belajar dari drama dan anime aja, disitu banyak percakapan sehari-hari yang banyak berguna. Membantu kita untuk familiar dengan beberapa frase juga. Sebab nanti kalo sudah di Jepang, bakal fasih sendiri kok. Trust me!

my "host family"

4. Yang mana dulu: cari pembimbing dulu atau lulus syarat universitas dulu?

Jawabannya adalah: PEMBIMBING DULU. 
Jenjang S3 itu sudah ngga seperti jenjang S1 atau S2, dimana kita lebih university-minded, dimana segala sesuatu tergantung universitas, tergantung universitas mana yang punya program lebih bagus. Jenjang S3 kita akan lebih terfokus dan spesifik kepada apa yang ingin kita kerjakan dan siapa yang bakal bisa membantu kita mengembangkan pekerjaan kita.

Misalnya seseorang yang pingin spesifik belajar tentang Pulmonary hypertension, maka dia akan belajar dari seorang expert di bidang tersebut. Jadi langkah pertamanya adalah menemukan supervisor yang bersedia membimbing dibidang tersebut. Dan supervisor inilah yang nantinya bakal banyak membantu kita untuk memenuhi syarat universitas, dan juga menentukan kelulusan kita. Lebih penting daripada universitas. 

Dalam kasus saya, supervisor saya banyak membantu saya dalam memenuhi syarat pendaftaran universitas, bahkan juga syarat untuk mendaftar beasiswa. Jadi, find a supervisor that willing to take you in first. 

5.  Lebih enak ambil S3 atau PPDS dulu?

Nah, ini penting banget, terutama buat temen2 sesama dokter. 
Saya pribadi, saya pilih S3 dulu karena:
  • Cita-cita saya adalah sekolah ke luar negeri sesegera mungkin, sebelum saya tua, sebelum saya berkeluarga. Karena sekolah di luar negeri itu berat, kalo bawa keluarga bakal lebih berat lagi nanti. Dan kalo sekolahnya pas udah tua, nanti ngga bisa main gila wkwkwkwk (baca: traveling dan experiencing). Agak malu aja gitu kalo udah tua tapi masih seneng aneh-aneh gitu kayak anak muda
  • Ngga bisa langsung daftar PPDS. Karena saya "bukan siapa-siapa", ngga punya "prestasi khusus" juga, ngga pernah PTT juga, ngga punya uang dan ngga ada sumber pembiayaan pula, kan pasti sulit keterima tuh kalo kayak begini, persaingan terlalu ketat. Jadi saya memilih untuk menempa diri dulu (di perantauan bs sekalian nyari "prestasi khusus" sambil nabung buat PPDS nantinya).
  • Kalo PPDS dulu nanti takut keburu sibuk kerja dirumah sakit setelah lulus. Tahu sendiri lah kerja di rumah sakit di Indonesia itu demanding banget, ngga bisa ditinggal gitu. 
  • Lebih jujur lagi, sebenernya saya tidak terlalu menikmati kerja klinis karena stresor yang sangat tinggi di Indonesia.
  • Alesan yang lebih cheezy lagi, saya pingin "menghasilkan sesuatu" (baca: publish). Karena sejak SD saya suka sekali menulis dan kepingin punya tulisan yang di-publish di suatu tempat dan memberi manfaat buat orang lain (yes, just like all my blog posts).
ngerasain jadi "wanita Jepang"

Kalau temen-temen ngga punya alesan-alesan seperti yang saya tulis diatas, ada baiknya temen-temen ambil PPDS dulu. Apalagi yang punya cita2 pingin jadi "dokter" (baca: dokter yang ngobatin pasien). Yang pingin berfungsi sebagai dokter secara klinis. 

Yang jelas, ketika kita ambil S3 sebelum PPDS, artinya kita siap mengambil jalur akademisi, bukan jalur klinis. Sebab, nantinya peluang jalur akademik akan lebih terbuka dibanding untuk PPDS, kecuali kalo kita sudah punya afiliasi.

Sedangkan kalo kita PPDS dulu, kemungkinan kita sudah ada afiliasi ketika berangkat S3, jadi ngga usah khawatir, masih bisa memilih antara klinis dan akademisi. Tapi ya itu tadi, sudah ngga muda lagi dan tanggungan jadi lebih banyak. Ngga bisa main gila hehehe. Apalagi perempuan.

Anyway, pokoknya akan selalu ada plus and minus, so choose wisely!

6. How to deal with mental health issues during PhD?

Nah, ini adalah salah satu topik yang penting. Walaupun di bagian sebelumnya saya bilang kerja klinis itu stresornya tinggi, nyatanya stres PhD juga ngga kalah tinggi. Tuntutan akademis plus perbedaan budaya kerja seperti yang saya bilang tadi, ternyata terasa berat banget lho!  


1,5 tahun pertama saya di Jepang saya pernah frustasi banget. Eksperimen macet, disuruh ganti judul, dimarahin dan diremehin sama salah satu supervisor saya (kalo ini masih sampe sekarang sih), belum lagi rasa sepi dan kangen rumah. Dan saya akhirnya menemukan beberapa hal yang penting untuk menghadapi masalah kesehatan mental:
  • Be honest. Maksudnya ngga usah berlagak kuat. Ketika memang sudah sangat frustasi, take a step back, find help. Don't try to act like everything is fine when everything is not. Bukan berarti kamu lemah, apalagi menyerah. Sambat kalo perlu.
  • Find your friends. Beruntung banget disini saya dikelilingi oleh teman-teman yang saling support, temen-temen yang ngajak traveling ketika sudah dipuncak frustasi, temen-temen yang mau mendengar sambat kita, temen-temen yang bikin kita serasa dirumah, dan ternyata ini membantu banget lho.
  • Find your own coping mechanism. Tiap manusia punya cara masing-masing untuk menghadapi stresnya, atau istilah kerennya coping mechanism, dan kita harus menemukan mekanisme coping yang tepat dan sehat buat kita. Yang penting, jangan proyeksikan ke orang lain!
  • Always remember Allah swt. No greater help, except from Allah swt. Keep praying and believe in Allah swt.
group traveling to Shirahama 2018

Buat saya, berbagi lewat blog, instagram, twitter, atau Youtube channel adalah salah satu bentuk coping saya, termasuk juga jalan-jalan dan mencoba hal baru. Semuanya membantu saya untuk meluapkan emosi sekaligus membantu saya mencari solusi, jadi kita ngga tertimbun terus menerus dalam emosi dan kesedihan kita tanpa ada solusi. Ketika pikiran kita sudah tenang, kita bakal lebih terbuka pikirannya dan bakal banyak menemukan solusi. Because basically, human is capable of solving their own problems. Ngga percaya? Coba sendiri deh.


Okelah.
Semoga ini bisa menjawab pertanyaan temen-temen. Mohon maaf karena ngga bisa menjawab semuanya, nanti kepanjangan. 

Sekali lagi, kalo ada pertanyaan lain, bisa langsung ditulis di komen aja. Akan saya jawab sesuai opini pribadi saya. Sekali lagi, opini pribadi lho ya. Boleh setuju atau tidak setuju. Tidak ada maksud saya untuk menyinggung orang lain, semoga informasi ini berguna, dan terimakasih sudah membaca!

See you on the next post!
group traveling to Arima


Posting Komentar

0 Komentar