Berkumur dengan Povidon Iodine vs COVID-19: Benarkah?



Satu lagi kabar menghebohkan yang datangnya dari negeri sakura Jepang, yang "katanya" valid: berkumur dengan povidone iodine bisa melawan COVID-19. Sekarang kita akan bahas bagaimana faktanya dan kenyataannya di Jepang sana.

Pada konferensi pers harian yang dilakukan oleh Gubernur Osaka, Hirofumi Yoshimura, pada tanggal 4 Agustus 2020 kemaren, beliau membuat suatu rekomendasi berdasarkan sebuah penelitian kecil yang dilakukan oleh sebuah institusi penelitian di wilayah Osaka. Rekomendasi tersebut berupa penggunaan povidone iodine kumur untuk orang dengan gejala ringan dan untuk orang dengan resiko tinggi terpapar COVID-19. Rekomendasi tersebut dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan di Osaka, dengan sampel 41 orang. Hasilnya, kelompok sampel yang berkumur dengan povidone iodine 4x sehari selama 4 hari menunjukkan penurunan angka positif hingga ke angka 9,5% dibandingkan dengan penurunan hingga ke angka 40% pada kelompok berkumur dengan air saja.

Berita ini jelas menggemparkan dan membuat obat-obat kumur yang dijual bebas, habis diborong. Ludes ngga bersisa di Jepang. Ngga cuma itu, orang juga berbondong-bondong membeli saham perusahaan-perusahaan yang memproduksi povidone iodine kumur. Nah, bagaimana sebenernya faktanya?

Bukti ilmiahnya MASIH LEMAH


Di Jepang, yang namanya kumur-kumur itu uda lumrah. Aturannya, kalo musim dingin, orang Jepang dihimbau untuk sering kumur. Ini anak TK aja udah diajarin begitu di sekolahnya. Kenapa? Karena musim dingin adalah musim influenza, dan memang sudah ada penelitian yang menunjukkan efektifitas kumur-kumur terhadap resiko infeksi saluran nafas atas (cek penelitiannya disini). Dari sinilah kemudian muncul opini expert, bahwa mungkin hal yang sama berlaku untuk COVID-19.

Nah, bagaimana dengan kumur-kumur povidone iodine untuk COVID-19? 
Bukti penelitiannya masih lemah! Kenapa? Coba cek lagi penelitian yang dipaparkan pak Gubernur Yoshimura: sampel HANYA 41 orang. Sampel tersebut terlalu sedikit untuk bisa digeneralisasi ke populasi yang lebih luas. 41 orang tidak cukup untuk mewakilkan kemungkinan yang terjadi pada jutaan orang, at least di Jepang sendiri. Artinya, skala penelitian ini masih kecil. Selain itu, lihat metode penelitiannya, penelitian tersebut bukan bentuk randomized-control trial (RCT) yang menjadi standar baku penelitian untuk menentukan keefektifan suatu terapi terhadap suatu penyakit.

Jadi, penelitiannya ngga valid nih? Infonya ngga bener?


Bukan ngga bener, hasil penelitian tersebut juga bukan berarti ngga valid. Tapi penelitian tersebut masih awal. Peneliti tersebut hanya memaparkan bahwa "ada lho penurunan terhadap angka positif".  Tapi, apakah mereka menunjukkan bahwa penurunan itu berhubungan dengan kesakitan? Belum tentu. Apakah penurunan tersebut artinya bisa digunakan sebagai prevensi? Belum pasti. Apakah penurunan itu akan membuat sakitnya jadi ringan? Belum ada datanya. Apakah penurunan itu artinya sembuh? Apalagi ini, BELUM ADA DATANYA. Bukan salah, bukan tidak benar, tapi memang BELUM SAMPE DISITU PENELITIANNYA. Banyak hal-hal yang masih belum terjawab dan hal-hal diluar hasil penelitian itu sifatnya masih hipotesa, masih kemungkinan, masih harus dibuktikan lagi.

Baik si peneliti dan pak Gubernur menyadari kekurangan tersebut dan perlunya melakukan riset yang lebih lanjut untuk melihat apakah langkah ini bener-bener berefek ke COVID-19 itu sendiri. Mereka ngga buru-buru meng-claim bahwa "ini manjur lho", atau "bisa sembuh lho pake ini" atau "ini bisa untuk pencegahan lho". NGGAK. Rekomendasinya masih selevel "it's worth trying" alias "ini bisa dicoba". Boleh dilakukan dan juga boleh tidak. Toh sudah sama-sama tahu kalo berkumur sendiri mengurangi resiko infeksi saluran pernafasan, kan? Selanjutnya kita tunggu saja, siapa tau kumur povidone iodine ini beneran bermanfaat secara spesifik terhadap perjalanan penyakit COVID-19.

Dari kejadian ini saya belajar banyak:


1. Pak Gubernur ini sebenernya melakukan langkah yang cukup bagus: membuat rekomendasi berdasarkan data/bukti ilmiah. Jadi ngga asal bikin. Bukan hasil anti-sains yang jelas. Walaupun pak Gubernur agak keburu-buru ketika mengumumkan.
 
2. Kalo penelitiannya masih kecil, belum gold standar, ya jangan overclaim. Pak Gubernur ini walaupun agak blunder dan bikin masyarakat panik beli povidone iodine, tapi beliau bertanggung jawab dengan mempertegas pernyataannya bahwa ini BUKAN OBAT COVID-19 dan BUKAN PENCEGAHAN. Beliau juga mempertegas bahwa penelitian ini perlu diperdalam lagi, jadi bukan sains palsu. Walau di awal blunder, tapi beliau buru-buru sadar dan segera meluruskan, bukannya muter-muter dan mbulet ae. Hehe
 
3. Setiap menerima informasi, biasakan untuk cek lagi. Apakah benar hasil penelitiannya? Apakah metodenya sudah benar? Apakah sudah skala besar? Apakah implikasinya?
 
4. Kalo tidak mengerti, bertanyalah pada yang lebih mengerti. Jangan membuat asumsi sendiri! Kayak gini nih yang bikin teori konspirasi muncul, dari asumsi-asumsi tanpa dasar.

Kira-kira begitu temen-temen, singkat saja tapi semoga memberi pencerahan ke temen-temen. Jangan kaget kok rekomendasi ini ngga ada di WHO. Bukan karena konspirasi ya, ya emang dasar ilmiahnya belum kuat, jadi belum bs dijadikan rekomendasi pada tingkat yang lebih tinggi. Yang paling penting, jangan buru2 broadcast ini itu lewat WA ya, salah-salah nanti dosanya kamu yang tanggung lho.

Okay!
Buat informasi rutin seputar COVID-19 bisa follow temen satu lab saya yang sekarang lagi hits IG-nya @adamprabata yak!


Posting Komentar

0 Komentar