Tidak Ada Kata "Terpaksa" dalam Hidup Ini


Buat yang sudah baca post saya sebelumnya tentang buku The Courage to be Disliked, nah, akhirnya saya selesai membaca buku tersebut. Kali ini saya bukan mau ngasih review buku, tapi mau sedikit share tentang pelajaran penting yang saya petik dari buku tersebut dan hubungannya dengan kata "terpaksa". Pernah ngga sih dalam suatu titik dalam hidupmu kamu merasa "aku terpaksa melakukan ini". Well, it happened to me too.

Seperti yang saya sampaikan di post sebelumnya, buku The Courage to be Disliked ini cukup memukul nilai-nilai yang dulu saya percayai, seperti trauma masa lalu, inferiority complex, marah yang merupakan sebuah emosi palsu, sampai ke arti kebahagiaan. Nilai-nilai dari teori psikologi Adler yang dipaparkan dalam buku ini membuka sebuah cara pandang yang berbeda menurut saya. Misalnya dalam melihat suatu kondisi dimana kita "terpaksa" melakukan sesuatu. Bener ngga sih kalo kita bener-bener terpaksa waktu itu?

Sewaktu dulu saya akan masuk kuliah, saya sempat dihadapkan dengan berbagai pilihan. Orangtua saya ingin saya masuk fakultas kedokteran. Saya sendiri pada waktu itu tidak punya fokus/keinginan yang jelas tentang masa depan. Saya ngga tau "kepingin jadi apa" selain menjadi sesuatu yang diinginkan kedua orangtua saya, selain menjadi sesuatu yang saya familiar, karena kebetulan kedua orang tua adalah dokter gigi (bukan dokter, tapi masih mirip ama kedokteran lah). Karena dulu saya suka gambar menggambar, desain, dan matematika, saya berpikir untuk mendaftar ke fakultas teknik, entah arsitektur atau teknik sipil. Ketika ujian masuk tiba, ternyata saya tidak lolos fakultas kedokteran, tapi lolos ke fakultas teknik sipil di universitas negeri di Yogyakarta, tempat saya tinggal. Pada kesempatan yang lain, saya mencoba ujian masuk di universitas negeri di kota lain, ternyata saya lolos di fakultas kedokteran. 

Karena saya yang pada waktu itu ngga punya keinginan yang jelas, tentu saya bingung setengah hidup. Kedua orangtua saya sangat mendukung saya untuk mengambil kedokteran, saya ngga punya preferensi mana yg lebih baik antara teknik dan kedokteran, tapi waktu itu saya sangat enggan untuk pergi merantau, apalagi kotanya lumayan jauh. Karena orangtua sangat bersemangat, saya akhirnya "terpaksa" memilih merantau, meninggalkan zona nyaman favorit saya.  Apa akibatnya ketika kita memilih sesuatu dengan semangat "terpaksa"?

Selama beberapa semester awal, saya merasa sangat tersiksa sekali. Kehidupan di kota besar yang keras, kondisi merantau tanpa bantuan keluarga inti, apalagi saya merasa "terpaksa", merasa tidak ikhlas. Akhirnya pada satu titik tertentu dalam hidup saya, saya jatuh sakit. Ngga cuma sakit, bahkan sakit-sakitan. Kenapa? Stres karena pikiran "terpaksa" ini. Sekarang, kalo menilik ke waktu itu, apakah sebenarnya saya "terpaksa" ambil kedokteran? Jawabannya TIDAK. 

TIDAK ADA KATA TERPAKSA DALAM HIDUP INI.


At least, tidak dalam teori Adler. Kedengeran ekstrim, tapi ada benernya lho. Memilih "terpaksa masuk kedokteran" kalo menurut teori Adler, ini adalah sebuah life-lie, atau sebuah kebohongan hidup. Tidak ada kata terpaksa karena setiap titik dalam kehidupan kita, selalu ada pilihan lain. Tapi semua tergantung apakah kita BERANI MENGAMBIL PILIHAN LAIN TERSEBUT. Saya memiliki pilihan, fakultas teknik atau fakultas kedokteran, pergi merantau atau menetap. Apakah orangtua memaksa? Tidak. Orang tua hanya punya "preferensi" dalam kacamata mereka yang mereka percaya itu baik untuk kita. Tetapi saya tidak punya cukup keberanian untuk memilih pilihan lain karena saya merasa tidak punya preferensi yang lebih baik ketimbang kedua orangtua saya yang saya anggap lebih berpengalaman. 

Ada beberapa saat dimana saya menyalahkan orangtua saya karena "menyekolahkan saya ke fakultas kedokteran yang jauh". Padahal sebenernya itu pilihan saya sendiri. Tanpa sadar saya "memilih" pilihan ini karena takut harus bertanggungjawab terhadap pilihan yang lain. Kenapa? Kalo saya gagal di kedokteran, saya selalu bisa menyalahkan kedua orangtua saya dengan life-lie "terpaksa demi orangtua", tapi kalo saya gagal di fakultas teknik? Otomatis saya akan menyalahkan diri sendiri, saya akan dibenci oleh diri sendiri. Saya tahu saya ingin menghindari itu, makanya memilih kedokteran. Guilty-free escape

Setelah membaca buku The Courage to be Disliked saya jadi punya sudut pandang yang lain, yang akhirnya menjelaskan drama masa muda waktu itu. Ternyata "derita" diawal semester adalah hal yang secara tidak sadar saya pilih sendiri. Tentu ini bisa lain dengan pengalaman temen-temen. Mungkin ada beberapa kondisi yang memang masuk kategori "terpaksa". Tapi buat saya, pengalaman dan sudut pandang baru ini bener-bener jadi pembelajaran yang menarik. 

Intinya, secara tidak kita sadari, setiap hari, setiap saat, kita memilih suatu pilihan. Kita sendiri yang memilih pilihan tersebut, mau kita sukai atau kita tidak sukai. Untuk memilih suatu pilihan yang kita tidak sukai, disitu kita butuh keberanian. Emang lebih mudah untuk memilih pilihan yang "aman", tapi selama kita masih memiliki rasa takut untuk memilih, artinya kita masih belum memiliki kebebasan. Dan selama kebebasan itu belum kita miliki, maka tidak mudah bagi kita untuk menemukan kebahagiaan. Kira-kira begitulah pandangan teori Adler menurut persepsi saya.

Kedepannya, saya hanya ingin melakukan dua hal, HAVE A LITTLE MORE COURAGE and BE RESPONSIBLE OF MY OWN CHOICE.

Itu aja cukup, for now :) 


Posting Komentar

0 Komentar