"You never know what you have, until you lose it"
Sering denger kalimat ini karena emang di dalam kenyataan hidup pasti sering terjadi. Saya bukannya habis kehilangan studi saya, tapi karena sudah lulus ya sudah ngga berkelit dengan kehidupan ala mahasiswa S3 lagi.
Awalnya, saya merasa lega, udah ngga ada stressor, ngga lagi dikejar deadline, dituntut sempurna, dihardik untuk kerjakeras, dihina karena salah dan dimaki karena hasil tidak sesuai harapan. Tapi beberapa saat kemudian saya mulai menyadari hal-hal yang i wish i knew it back then.
Nah, kali ini saya mau berbagi sedikit pemikiran dan pengalaman buat para teman-teman yang ingin melanjutkan studi S3, supaya lebih semangat, tidak terjebak dengan kesalahan yang sama, sehingga studi S3 mereka less penyesalan.
Ambil PhD di luar negeri is waaaaayyy better
Bukan saya mendiskreditkan pendidikan di tanah air, tapi memang ambil PhD di luar negeri itu banyak keuntungannya. Dari hal yang remeh seperti sidang disertasi yang singkat dan praktis, tanpa harus ngurusin konsumsi dan tetek bengeknya, urusan paperwork yang praktis tanpa harus ngeprint dan jilid disertasi 1000x, sampe ke hal-hal teknis seperti teknologi yang maju.
Di luar negeri fasilitas dan bahan-bahan bisa dibilang unlimited, kita bener-bener bisa mendapatkan APAPUN yang kita butuhkan. Kalo di Indonesia, pengadaan bahan riset kadang memakan waktu yang lama dan birokrasi berbelit, kalo di LN semua bisa didapatkan dengan mudah dan relatif cepat.
Eksperimen jenis apapun hampir semua bisa dilakukan di LN. Hampir ngga ada keterbatasan yang bikin frustasi. Bahasa simpelnya, kita bisa melakukan apapun yang kita mau, selama ada reasoning yang tepat. Bisa dibilang, you have everything in your hands.
Funding? Banyak! Bahkan kalo untuk mahasiswa asing, ada grant tersendiri yang bisa kita akses misalnya untuk membiayai kita seminar bahkan untuk membantu riset kita. Beasiswa? Banyak juga. Apalagi buat mahasiswa asing. Selalu ada peluang disitu, asal kita bener-bener kerja keras.
Dan yang ngga kalah penting adalah kesempatan untuk kita ketemu, bertanya, sampai diskusi dengan para ekspert di level dunia. Kalo di Indonesia saya hanya bisa bertemu dengan ekspert nasional, dan mungkin ekspert level 2 atau 3 dunia, ketika saya studi S3 di Jepang, saya bisa bertemu dengan ekspert level 1 dunia lho! Ilmuwan top penemu ini lah, itu lah, dokter top penulis teks book ini lah, itu lah. Bertemu dengan para ekspert seperti itu ternyata membawa banyak wawasan buat kita juga lho.
Kalau kamu bisa memilih, pilihlah yang terbaik. Kejarlah yang tertinggi, kejarlah S3 di tempat yang paling top sedunia, karena fasilitas dan pengalaman yang akan kamu dapatkan juga akan top level dunia.
Sekarang saya baru sadar, saya sangat beruntung bisa melanjutkan studi di LN. Jadi, kalo kamu punya kesempatan studi S3 di LN, don't take it for granted. Bersungguh-sungguhlah, jangan sia-siakan kesempatan dan fasilitas yang ada, raih semua keunggulannya!
Get ready first! Before you jump
Sebelum saya lanjut S3, saya adalah seorang dokter klinis yang bekerja di IGD, di klinik, dan di pusat hemodialisa. Yang saya hadapi sehari-hari adalah pasien, diagnosis dan obat. Saya tidak punya pengalaman menulis manuskrip ilmiah kecuali skripsi dan KTI jaman kuliah, dan saya tidak pernah pegang alat-alat laboratorium sama sekali.
Akibatnya? Saya sempat kagok ketika pertama tiba di Jepang. Saya bingung. Apalagi studi S3 bukan studi dimana kamu akan "diajari". Kita dituntut untuk bisa belajar sendiri. Supervisor berfungsi hanya sebagai pengawas dan "teman diskusi", supaya riset kita ngga salah jalan. But they don't teach you.
Baca juga: Menjawab Pertanyaan Seputar S3 di Jepang
Sekarang saya baru sadar, andaikata saya magang dulu dengan dokter senior yang sudah PhD, atau magang di bagian yang mengajarkan ketrampilan laboratorium dasar, atau pernah ikut pelatihan/kursus sejenis, mungkin saya ngga perlu menghabiskan waktu 1 semester lebih hanya untuk membiasakan diri dan mempelajari how research goes di laboratorium saya.
Sekali lagi, sekarang saya baru sadar, andaikata saya dulu punya basic-nya, saya bisa memulai penelitian saya jauh lebih awal. Karena waktu 4 tahun untuk studi PhD sangat amat pendek sebenernya. Kalau waktu itu harus kamu kurangi dengan hal-hal yang sebenernya bisa kamu persiapkan sebelum mulai studi, akan lebih baik lagi.
Saya baru sadar, ternyata dulu saya buang-buang waktu juga untuk adaptasi. Khusus yang mau lanjut di Jepang, ada beberapa hal yang harus diketahui juga sebelum mulai studi. Jangan sampe ketinggalan ya!
Jangan terlalu lama terseret emosi
Studi PhD itu sangat amat menguras tenaga dan emosi kita. Wajar kalau kita sempat jatuh ke jurang kelam. Dan kalau kita terseret dalam jurang emosi yang kelam, segeralah cari bantuan. Ngga ada gunanya terseret emosi terlalu lama, karena studi PhD 4 tahun itu singkat, dan sayang rasanya kalo tidak bisa kita manfaatkan karena kita sibuk terseret emosi.
Saya akui bahwa saya sendiripun sempat masuk ke fase jurang emosi. Dan saya baru sadar kalau waktu itu saya terlalu terbawa emosi, sehingga saya malah ngga fokus studi dan malah sibuk seeking attention to acknowledge the emotion. Bukannya mencari pertolongan segera, saya malah menjadikan emosi itu sebagai alasan yang menghalangi saya untuk berkembang. Bodoh!
Saran saya, ketika kita berada di fase emosi, kita harus selalu ingat bahwa the world doesn't revolve around us, sementara kita sibuk dengan emosi kita, oranglain akan jalan terus. Jadi, segera cari bantuan jika memang tidak sanggup mengendalikan masalah emosi kita, segeralah bangkit dan lanjutkan perjalanan studi kita, karena waktu kita sangat berharga.
Sekarang saya baru sadar, andaikata saya tidak terperosok terlalu lama dalam jurang emosi, mungkin ilmu dan achievement yang saya dapat akan lebih banyak lagi dulu.
Berhentilah membandingkan diri sendiri dengan orang lain
Nah, yang ini adalah pelajaran yang akan selalu saya ingat, bahkan selepas studi S3 sekalipun. Karena tiap-tiap orang adalah sosok yang berbeda.
Jaman sekolah saya dulu sering membandingkan proyek saya dengan proyek orang lain. Sibuk membandingkan kenapa saya belum bisa begitu? Kenapa dia sudah bisa? Padahal jelas-jelas latar belakang kami berbeda. Akibatnya, bukannya fokus mengembangkan diri, mengembakan apa yang saya bisa, saya justru sibuk mengejar orang lain.
Ketika saya sadar bahwa itu salah, tanpa sadar saya sudah di tahun ketiga saya. Harapan saya, teman-teman bisa menyadari hal ini dan tidak terjebak pada perasaan inferior terhadap orang lain. You can do it! And you will do it differently!
We've only just begun
Dulu saya pikir selesai PhD maka hidup saya akan happily ever after, dapet kerja, dan selesai. Ternyata ngga juga. Justru sekarang saya sedang bergelut dan sedang berusaha memanfaatkan keilmuan saya biar ngga cuma jadi gelar semata. Dan malah bagian ini yang sulit.
Menemukan pekerjaan yang cocok dengan passion, dengan keilmuan, dan ngga cuma dengan memajang gelar ternyata ngga mudah.
Saya baru menyadari ternyata saya lebih suka sekolah. Ternyata belajar, dibimbing, dan punya institusi belajar itu lebih menyenangkan. Ternyata punya gelar pelajar/mahasiswa justru punya previlege sendiri. Karena berdikari dan terjun ke dunia kerja itu menyeramkan, penuh tantangan dan tanggungjawab. Hahaha
But life must go on.
Sekarang saatnya move on.
Buat temen-temen yang mau lanjut S3/PhD, semoga sekelumit cerita dan pengalaman saya tadi bisa membantu temen-temen di studinya.
Kalau ada yang pingin tanya seputar S3/PhD terutama untuk dokter, bisa kontak saya langsung via media social atau bisa tulis di komen yak!
See you on the next post!
0 Komentar