Impostor Syndrome: yang sering ditemui oleh para pelajar di luar negeri

mengenal impostor syndrome

 Pernah denger istilah Impostor Syndrome?

Sama, saya dulu juga ngga tau istilah ini. Berkat pekerjaan sampingan saya di sini, saya jadi berkesempatan untuk ngobrol dengan banyak temen-temen sejawat (dokter) yang sudah/sedang lanjut studi di luar negeri (LN), dan berkenalan dengan si Impostor Syndrome ini.

Dari beberapa temen dan sejawat yang saya ajak bicara, diskusi, sebagian besar dari mereka pernah bersinggungan dengan Impostor Syndrome ini. Bahkan saya pun baru sadar, apa yang selama ini saya anggap inferiority complex mungkin juga merupakan bentuk Impostor Syndrome ini.

Setelah saya pikir-pikir lagi, kayaknya ngga cuma mereka-mereka yang pernah mengenyam pendidikan di LN saja yang begitu. Saya yakin ada banyak orang yang tanpa sadar masuk ke dalam sindroma ini. Berbahaya? Belum tentu. Tapi jelas bisa mengganggu well-being kita dan juga produktifitas kita. 

Jadi apa itu Impostor Syndrome? Kenapa bisa begitu? And how to deal with it? Yuk mari kita bahas secara ringkas.

Apa itu Impostor Syndrome?

Impostor syndrome dideskripsikan sebagai suatu sindroma psikologis dimana si penderita meragukan dirinya sendiri baik secara skill, achievement, bahkan hingga memiliki ketakutan dianggap sebagai "penipu". Orang dengan Impostor Syndrome (IS) biasanya terus-terusan percaya bahwa pencapaiannya selama ini hanya faktor keberuntungan semata, bukan karena kemampuannya.  

IS pertama di laporkan dalam sebuah manuskrip oleh psikologis bernama Pauline Clance dan Suzzane Imes pada tahun 1978, dan mereka melaporkan bahwa IS justru banyak ditemukan pada perempuan dengan high achievement.

Dewasa ini, ngga cuma perempuan-perempuan dengan high achievement saja, laki-laki juga memiliki tendensi yang sama menderita IS, dan bisa ditemukan mulai dari mahasiswa, medical students, marketing manager, sampai ke assistant physician. 

Pada kenyataannya, banyak orang bisa mengalami IS ini, tidak hanya mereka dengan pencapaian tinggi, tapi juga mereka yang gagal dalam meng-internalisasi kesuksesan mereka (internalisasi merupakan proses belajar dan menerima). 

IS ini tidak hanya soal meragukan kemampuan diri sendiri, tapi pada tingkat yang lebih lanjut, IS dapat menimbulkan stress, ansietas berlebihan, bahkan sampe menjadi depresi.  

Kenapa bisa terjadi?

Sampai sekarang belum diketahui apa penyebab pasti, namun beberapa faktor diketahui memiliki korelasi dengan IS, misalnya sifat perfeksionis dan faktor lingkungan keluarga. 

Sementara, menurut seorang penulis dan juga pakar IS , Valerie Young, seperti dikutip dari time.com, sindroma ini dikaitkan dengan pola psikologis tertentu antara lain:

  • Karakter perfeksionis,
  • Perasaan "ekspert", dimana seseorang merasa harus menjadi "ekspert" dalam segala sesuatu 
  • Tipe "natural genius" dimana seseorang memasang target yang tinggi dan merasa gagal jika tidak berhasil dalam percobaan pertama. 
  • "Soloist" atau orang yang terbiasa mengerjakan segala sesuatunya sendiri atau individualis
  • Selalu mencoba menjadi seorang yang "super", atau bekerja sekuat tenaga seperti superman/superwomen, untuk membuktikan bahwa dirinya bukan impostor

How to deal with it?

Menurut artikel yang ditulis pada time.com, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi IS ini:

  • Don't fight this feeling. Akui adanya pikiran-pikiran impostor tersebut, simpan dalam perspektif, dan tanyakan pada diri sendiri, "Apakah pikiran tersebut membantu atau malah menghalangi saya?"
  • Belajar berpikir seperti para non-impostor, misalnya: belajar menghargai kritik yang membangun, meminta bantuan jika memang membutuhkan, dan yakinkan diri kita bahwa latihan keterampilan pasti akan membantu kita lebih baik.
  • Share your feelings to your trusted friends atau pergi ke psikolog jika perlu

Menurut sumber lain, mengurangi penggunaan sosial media juga bisa dilakukan karena kehadiran sosial media acap kali menimbulkan perasaan inferior. Selain itu, berhenti membandingkan diri sendiri, melakukan assessmen terhadap kemampuan kita, dan tetap fokus mengejar goal juga dapat dilakukan untuk menghadapi IS. 

Ingat juga, bahwa merasakan IS adalah hal yang lumrah dan bisa terjadi pada siapapun, tapi yang paling penting buat orang yang menghadapi IS adalah menemukan cara yang tepat untuk meredakan IS tersebut.

Do you have impostor syndrome?

Nah, begitu mendengar si IS ini, langsung kepikiran deh, "berarti dulu apa yang saya rasakan jangan-jangan adalah ini". Kebetulan ternyata sang penemu, Pauline Clance, membuat sebuah skoring test untuk menilai keparahan IS yang bisa kita coba. Dan benar saja, ternyata skor saya termasuk dalam kategori "frequently has Impostor feelings".

Memang di dalam koridor akademik, perasaan-perasaan bak "impostor" ini pasti sering muncul. Apalagi diperkeruh dengan kondisi kultural yang berbeda di LN. Tuntutan yang tinggi dan kegagalan yang terjadi bertubi-tubi kadang menyeret kita ke dalam pusaran impostor ini. 

Diantara teman-teman di LN yang saya ajak bicara, kejadiannya pun berbeda-beda. Ada yang merasakan IS pada awal studi, dan hilang setelah beberapa bulan. Ada yang justru merasakan IS di tahun-tahun terakhir studi.

Kadang IS ini juga timbul dengan perasaan seolah-olah kita tidak cocok berada dalam situasi tertentu, semacam perasaan I don't belong here. Yang entah kenapa kadang ini masih sering saya rasakan.

Buat saya, saya masih banyak harus belajar bagaimana menghadapi IS ini. Saya pikir, perasaan itu sudah hilang sejak lulus S3, nyatanya nggak juga. Sampai sekarang ternyata masih ada ketakutan-ketakutan yang mendekati perasaan impostor ini.

Pesan saya, jika itu sudah sangat mengganggu, kontraproduktif, menyebabkan ansietas atau bahkan depresi, segeralah mencari pertolongan. Kadang bicara sama teman aja ngga cukup, jadi, jangan ragu untuk mencari pertolongan profesional yak. 

Sekali lagi, IS ngga eksklusif di antara akademisi atau para pelajar aja lho. Bisa terjadi di siapapun dalam situasi apapun. Semoga melalui tulisan ini kita bisa lebih aware dan yang penting bisa belajar mengelola kondisi ini.


Sumber tulisan:

Posting Komentar

0 Komentar