![]() |
a photo by 668906 (adobe spark) |
Sehabis SD, pasti SMP, terus lanjut SMA, terus kuliah, terus apa? Buat yang memutuskan untuk terjun ke dunia kerja, maka kita harus mempersiapkannya. Setelah menyelesaikan S3 saya, selain menyadari 5 poin ini, saya juga mulai menyadari bahwa mempersiapkan kerja SETELAH lulus kuliah agaknya "terlambat". Karena momen yang tepat untuk mencari kerja sebenarnya berada sesaat sebelum kelulusan.
Belajar Paradigma Bekerja dari Jepang
Selama 4,5 tahun saya tinggal di Jepang, saya sudah terbiasa dengan tatanan hidup normal orang Jepang. Semua masyarakat Jepang secara tidak langsung dituntun untuk mengikuti pola SD-SMP-SMA-kuliah-kerja. SD adalah untuk mempersiapkan SMP, SMP mempersiapkan SMA, dan begitu terus sampai ujungnya, bekerja.
Terjun ke dalam society alias bekerja adalah salah satu tatanan hidup disana. Meskipun seorang perempuan bercita-cita menjadi seorang ibu rumah tangga sekalipun, tetap ada masa "bekerja" seusai kuliah disitu (at least sebelum menikah dan berkeluarga). Literally, semua orang dewasa dituntut secara sosial untuk harus bekerja setelah kuliah dan membayar pajak. Tentu saja semua persiapan menuju dunia kerja dilakukan di jenjang sebelumnya, sewaktu kuliah.
Bukan cuma belajar ilmu saja, sewaktu kuliah, mahasiswa di Jepang sudah dibekali dengan berbagai macam pengetahuan dan pelatihan untuk melamar kerja, atau yang disebut shūshoku katsudō atau disingkat Shukatsu yang artinya job hunting. Karena sudah jelas bahwa semua mahasiswa nantinya akan bekerja, maka pada tahun terakhir perkuliahan mereka, biasanya para mahasiswa diberi kuliah dan pelatihan khusus untuk Shukatsu ini.
Mahasiswa yang belajar di lab saya dulu pun juga begitu. Memasuki tahun terakhir mereka, mereka tidak lagi sibuk di lab, melainkan persiapan ujian akhir, presentasi skripsi, dan tentu saja melakukan shukatsu. Sebelum terjun langsung dalam shukatsu, mahasiswa ini diberi pelatihan tentang cara mengisi CV yang baik, cara menghadapi interview, cara berpakaian dan strategi lolos seleksi shukatsu.
Hasil akhirnya, setelah mereka lulus, mereka sudah punya tempat bekerja. Mereka bisa segera terjun dalam society dalam konteks hidup di Jepang. Memiliki gaji dan membayar pajak sih intinya. Bisa dibilang tidak ada waktu "senggang" dimana seseorang tidak memiliki gaji dan tidak membayar pajak. Walaupun outliers pasti ada (lain kali kita bisa ngomongin soal orang-orang yang 'trauma' dengan shukatsu dan bekerja).
Baca juga: Impostor syndrome, yang sering ditemui oleh para pelajar di luar negeri
Saya pikir hal seperti itu hanya berlaku di Jepang, karena tatanan masyarakatnya yang terkesan "workaholic". Tapi makin kesini saya makin merasa bahwa momen yang tepat untuk mencari kerja sebenarnya adalah justru sebelum kelulusan, tidak seperti yang selama ini saya rasakan.
Momen tepat untuk mencari kerja: sebelum lulus
Kenapa sebelum lulus?
Karena kalau kita gagal, kita butuh bantuan, konseling, kita selalu punya institusi untuk "berlindung", untuk kembali. Kalo kita gagal job hunting sewaktu kuliah, label kita tetap mahasiswa. Berbeda ketika kita mulai cari kerja setelah lulus, kalau kita gagal, seolah kita membawa label "pengangguran", dan kadang merasa terpuruk.
Menjadi mahasiswa itu sebenernya punya privilege tersendiri. Karena mahasiswa adalah pelajar, sehingga tanggungjawabnya sebagai seorang dewasa yang berdikari belum sempurna sepenuhnya. Jadi kalau mahasiswa melakukan kesalahan, kemudian gagal, seolah-olah masih memiliki tempat karena mereka pelajar yang masih 'belajar'.
Apalagi sebagai seorang mahasiswa kita seolah-olah masih entitled dengan nama besar universitas tempat kita bernaung. Jadi semacam ada value tambahan. Apalagi buat mereka yang belajar di universitas top.
Ini juga yang saya rasakan setelah lulus S3. Bursa tawaran pekerjaan terbesar bagi para PhD student adalah justru ada pada tahun terakhir studi mereka. Memang sebagian besar pasti sibuk dengan paper merka di tahun terakhir mereka, tapi justru disitulah momen yang paling tepat untuk mengamankan tawaran kerja.
Menjadi mahasiswa PhD tahun terakhir sudah memberikan kita cukup ilmu pengetahuan untuk menapaki karir berikutnya. Kalau kita punya visi yang jelas, maka visi dan pengetahuan itu sudah cukup untuk membuat perencanaan jelas seputar karir dan pekerjaan berikutnya, yang bisa digunakan sebagai bargaining point.
Baca juga: 6 karakter kunci meraih beasiswa
Banyak senior-senior yang saya kenal memanfaatkan tahun terakhir mereka untuk melakukan jejaring dengan institusi yang menjadi interest mereka. Sebagian lainnya bahkan sampai melakukan aplikasi dan wawancara (baik informal maupun informal). Tidak berbekal ijazah, tapi berbekal visi, pengetahuan, dan proyeksi masa depan yang jelas. Dan, ternyata sebagian besar dari mereka berhasil mendapatkan posisi/pekerjaan yang diidam-idamkan.
![]() |
momen kelulusan |
Apalagi mencari pekerjaan sebagai post-doctoral, mencari supervisor ketika kita masih membawa nama besar institusi tempat kita belajar akan membuka peluang lebih besar ketimbang membawa embel-embel 'alumni' atau riwayat pekerjaan/pengalaman terdahulu.
Di Indonesia?
Kalau saya ngga salah, kurikulum magang sudah ada. Menurut saya itu sangat bagus untuk membangun jejaring. Karena di dalam sistem pendidikan kita tidak mengenal yang namanya melamar kerja sebelum lulus, jadi ya sudah, paling tidak dengan magang kita sudah setengah "menawarkan diri" ke kantor/institusi yang kita incar.
Saya personally ngga begitu ngerti aplikasi kurikulum magang tersebut. Tapi harapannya bener-bener bisa seperti magang di luar negeri, dimana kita bisa dapet ilmu, pengalaman, dan juga--yang ngga kalah penting--referral untuk para calon pegawai ketika mereka melamar setelah lulus nanti.
Walaupun di profesi saya itu agak-agak sulit dilakukan, apalagi mengingat internship dokter kebanyakan menempatkan kita di lokasi yang belum tentu sesuai dengan cita-cita kita. Tapi, di masa sekarang, ada banyak cara untuk melakukan jejaring. Sambil melakukan internship sepertinya kita tetap dapat melakukan jejaring. Jejaring saja sudah cukup, eksekusinya nanti setelah selesai internship.
Secara pribadi saya pernah mengalami sulitnya mencari kerja setelah lulus, apalagi dibayangi dengan perasaan "menjadi pengangguran", merasa ada kekosongan dalam CV, dan merasa efeknya akan buruk untuk karir nantinya. Tapi balik lagi ke visi kita tentang masa depan. Kalau memang "santai menghadapi peluang kerja" adalah salah satu dari visi kita, yah ngga masalah juga.
Yang tidak kalah terpenting adalah memahami bahwa situasi tiap individu berbeda. Ada beberapa orang bisa menggunakan strategi ini, beberapa yang lain tidak. Yang jelas, jangan menyerah kalau memang bekerja adalah visi dan goal kita.
Karena yang paling penting adalah punya visi dan goal yang jelas. Bagaimana dengan temen-temen?
0 Komentar