Banyak orang bertanya pada saya, bagaimana saya bisa menikah dengan orang Jepang. Walaupun sudah pernah berbagi cerita tentang merencanakan pernikahan sendiri, tapi saya malah belum pernah berbagi alasan kenapa pernikahan tersebut terjadi.
Jodoh memang ngga ada yang tahu. Saya sendiri juga ngga tahu apakah mas suami bener-bener jodoh saya. Yang jelas, saya yakin ketika bikin keputusan menikah. Karena cerita panjang yang sudah kami jalani berdua. Memang seperti apa?
Awal cerita: Terpuruk tidak selamanya buruk
Yang sering nongkrong di blog saya pasti tahu propaganda saya tentang S3 di Jepang (hehehe). Pasti ngerti kalo dunia S3 di Jepang itu berat. dan demanding. Selama S3 itu pula saya pertama kalinya merasakan kondisi terpuruk yang cukup berat.
Pernah suatu saat saya merasa sangat hampa saking stressnya di lab. Saya selalu sedih ketika berangkat ke lab, tidak ada energi untuk bekerja, tidak punya semangat. Bahkan untuk sekedar melakukan hal-hal yang saya sukai saja saya merasa enggan. Mirip gejala depresi (berdasar keilmuan saya).
Sayangnya saya ngga punya teman bicara. Teman-teman lab semuanya sibuk dengan masalah masing-masing. Saya merasa tidak ingin mendengar kata-kata seperti, "aku dulu juga gitu", "kalau aku bla bla bla", atau "kalau di labnya si ini tu begitu", jadi saya memilih tidak bicara ke siapapun di lingkungan pelajar Indonesia.
Saat itu saya benar-benar ingin didengar, ingin bercerita kepada orang yang tidak bisa menghakimi saya, yang juga bisa memberikan sudut pandang yang benar-benar baru. Jadi saya berkesimpulan, I need to talk to a total strangers!
Petualangan ngobrol dengan orang-orang "asing"
Akhirnya saya memutuskan cari teman ngobrol orang asing. Yang bener-bener asing. Bahkan saya sempat menggunakan beberapa aplikasi mencari teman di internet (tidak untuk mencari kencan lho ya), hanya sekedar mencari teman yang mau diajak ngobrol, lewat chat misalnya.
Sayangnya dari sekian banyak orang yang saya ajak bicara, tidak ada yang benar-benar bisa saya "ajak bicara". Walaupun masing-masing teman tersebut memberikan insight dan pelajaran yang menarik juga. Tapi saya merasa belum menemukan teman bicara yang benar-benar "mendengar".
Sampai akhirnya salah satu teman Jepang yang saya kenal di sebuah event kebudayaan Indonesia mengenalkan saya sama salah seorang temannya karena mengetahui saya suka musik dan anime. Ternyata teman yang dikenalkan adalah si mas suami.
Sakamichi no Apollon dan Lullaby of Birdland
Konsep "ngobrol" yang saya cari sebenarnya adalah konsep "ngobrol" yang bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Misalnya lewat chat. Ketimbang harus repot-repot ketemuan dan melewati fase "awkward" ngobrol, saya memilih kenalan lewat chat saja.
Tidak diduga, si mas suami ini orangnya sangat responsif kalau di chat. Orangnya sangat pay attention to what I said, termasuk ketika saya merekomendasikan anime Sakamichi no Apollon (Kids on the Slope). Langsung dalam semalam si mas ini marathon, jadi keeseokan harinya kami bisa berdiskusi soal anime ini.
Saya sendiri suka dengan Sakamichi no Apollon karena animenya yang berlatar belakang tahun 1966 dan ber-setting di kota Nagasaki, dimana budaya Amerika berkembang, termasuk budaya musik Jazz yang menjadi tema besar dalam anime ini.
Usut punya usut ternyata si mas juga penyuka Jazz. Bahkan dia lebih hapal musisi Jazz international ketimbang artis negaranya sendiri. Dan dari si mas ini lah saya tahu penulis lagu Jazz kesukaan saya, Lullaby of Birdland, dan sejarah lagu-lagu jazz yang ada di dalam anime Sakamichi no Apollon ini.
Lucunya, semakin saya ngobrol, semakin banyak wawasan yang saya dapat. Si mas ini suka membagikan wawasan dan pengetahuan yang didapat dari ratusan buku yang dia baca. Mulai dari buku ekonomi (sesuai background dia), bahkan sampai ke buku kesehatan dan self-help. Selalu ada hal baru yang saya pelajari tiap kali ngobrol dengan dia.
Tidak hanya itu, si mas ini juga benar-benar mendengarkan apa yang saya sampaikan. Dari hari Senin sampai Jumat kami selalu chatting hingga larut malam. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk ketemu di sebuah restoran Pakistan di dekat Masjid Kobe.
Nasi Biryani dan tipikal orang Jepang
![]() |
Ali's Kitchen dan Mutton Biryani favorit kami |
Ditemani teman saya yang mengenalkan si mas suami, akhirnya kami ngobrol sambil makan Biryani di restoran Ali's Kitchen. Walaupun ujung-ujungnya saya ditinggal ngobrol berdua dengan si mas suami, tapi saya merasa ngga awkward sama sekali.
Dari pertemuan itulah saya mulai mengenal si mas sebagai seorang pendengar yang baik. Semakin lama mengenal, semakin tahu bahwa doi tidak pernah menghakimi, dan tidak pernah berusaha menggurui saya dalam menyelesaikan masalah. Prinsipnya, we are responsible to our problems. Dia hanya mendengar dan memberi insight saja.
Selain itu si mas ini berbeda dengan tipikal orang Jepang. Sementara orang Jepang selalu sungkan berbahasa Inggris, kalo si mas ini malah senang ngobrol dengan bahasa Inggrisnya yang B aja sebenernya. Kalo pergi keluar ngga pernah ngga bayarin (di Jepang budayanya bayar sendiri-sendiri padahal). Senang belajar hal baru, bahkan excited sekali ketika mengenal Islam di masjid Kobe waktu menemani saya sholat di sana.
Doi juga suka makanan pedas dan berbumbu seperti makanan timur tengah dan selalu excited kalau diajak makan masakan Indonesia. Selalu memberi contoh untuk menghargai oranglain, termasuk hal sepele seperti selalu menghabiskan makanan kalau makan diluar meskipun kita ngga terlalu suka. Entah kenapa jalan sama si mas tidak seperti jalan sama orang Jepang.
Prinsip 3x dan sebuah komitmen
Sejak pergi makan Biryani, kami jadi rajin main bareng setiap weekend. Efeknya, saya jadi lebih semangat ke lab. Lebih bisa melihat masalah-masalah di lab dari kacamata yang berbeda, dan mulai lebih bertanggungjawab dengan masalah-masalah saya sendiri.
Sampai suatu hari si mas ini mengajak saya naik ferriswheel di HEP Five Umeda, Osaka. Kebetulan saya suka sekali naik ferriswheel dan belum pernah mencoba naik ferriswheel diatas rooftop mall HEP Five tersebut. Dan saat itulah tiba-tiba dia memberi saya hadiah.
Dalam perjalanan pulang saya bertanya-tanya kenapa dia memberikan hadiah itu. Dia bilang, dalam budayanya, kalau seorang laki-laki tidak mengutarakan maksudnya setelah 3x mengajak keluar seorang perempuan, berarti laki-laki itu cuma main-main. Si mas ternyata tidak ingin dikira main-main, sehingga dia segera mengutarakan maksudnya. Kalau dalam bahasa Jepang, kokuhaku.
Saya sendiri waktu itu ngga kepikiran buat cari pacar, apalagi orang Jepang. Apalagi tujuan utama saya "main" sama si mas ini adalah untuk mencari "teman ngobrol". Jujur saja saya utarakan ke si mas kalau saya ngga ingin mencari pacar karena ngga ingin pacar-pacaran. Saya hanya tertarik dengan laki-laki yang memang berniat menjadi suami saya.
Saya pikir mendengar jawaban itu si mas akan menyerah. Ternyata si mas justru menjawab, "saya ngga tahu seperti apa menjadi seorang suami, apalagi suami seorang muslim. Tapi saya ingin belajar. Kalau tidak mencoba, kita tidak pernah tahu".
Saya pikir kalimat itu hanya di mulut saja. Tapi buat si mas ternyata itu sebuah komitmen. Saya masih ingat bagaimana dia belajar Islam dan saya mengarahkannya ke teman yang lebih paham karena saya tidak mau "memaksa" dan tidak merasa kompeten mengajari. Hingga akhirnya si mas mengucap syahadat tanpa saya ketahui.
Berantem? BANYAK KALI. Mulai dari masalah agama, budaya, sampai prinsip. Tapi, tiap kali ribut, kami pasti baikan lagi. Pelan-pelan saya mulai belajar prinsip si mas, kita ngga selalu bisa mendapatkan yang kita inginkan. Kalau kita benar-benar mau, kita harus siap berkorban, compromise. Kalau kami mau menjaga komitmen kami, kami harus siap untuk compromise.
Si mas juga mulai bisa compromise dengan prinsip yang saya pegang. Menurut dia, prinsip saya membantu memperbaiki keburukannya. Dan menurut saya, saya menemukan kebaikan saya semenjak belajar prinsip-prinsipnya. Itulah yang membuat kami bertahan. Karena kami menemukan kenyamanan.
Sampai menikah dengan orang Jepang
Tahun pertama jalan bareng kami habiskan untuk berantem dan saling mengenali prinsip masing-masing. Tahun kedua si mas mulai saya kenalkan ke keluarga sewaktu mereka berkunjung ke Jepang. Tahun ketiga si mas datang langsung ke Indonesia untuk kenalan dengan keluarga besar saya.
![]() |
Karena sudah merasa nyaman, saya ngga pernah malu ngeliat ulah masing-masing. Kami ngga malu juga foto dengan pose aneh-aneh. Karena sudah ngerti keanehannya masing-masing. |
Sejak berkenalan dengan keluarga besar, kami sudah merencanakan langkah berikutnya. Sayangnya rencana tersebut kemudian kandas karena pandemi. Tapi rencana Tuhan berbeda.
Melihat saya serius dengan si mas, dan juga sebaliknya, akhirnya sesaat sebelum saya pulang ke Indonesia, keluarga saya akhirnya setuju untuk melangsungkan akad nikah dulu di Jepang. Karena tanpa status menikah, maka pintu untuk saya dan suami tetap bisa terhubung akan putus. Karena masing-masing negara menutup pintu untuk orang asing.
Kelanjutan ceritanya pasti udah pada tahu dari posting sebelumnya hahahaha. Kami menikah dan memiliki visa untuk masing-masing negara. Sehingga jalan untuk tetap bersama masih terbuka untuk kami.
Ketika saya memutuskan menikah dengan si mas, saya sudah mengenal dia lebih dari 3 tahun, sudah hapal kebiasaannya, sudah kenal keluarga besarnya, sudah paham prinsip hidupnya, sudah pegang komitmen masing-masing, dan sudah yakin bisa compromise dengan berbagai kekurangannya. Jadi, apa lagi yang saya cari?
Semoga kami bisa terus bersama ke depannya :)
0 Komentar