Bagaimana komunikasi dalam pernikahan internasional?

komunikasi dalam pernikahan internasional


Sebenernya minggu ini saya pingin bikin post tentang akademik, tapi kemudian ke-trigger dengan tema komunikasi yang minggu ini diusung oleh komunitas #1minggu1cerita. Kali ini saya akan membahas hal yang sering ditanya oleh banyak orang ke saya: bagaimana komunikasi dalam pernikahan internasional?

Bagi saya dan suami, komunikasi adalah topik yang sudah kami bahas sejak awal memulai hubungan kami. Karena sejak sepakat untuk mencoba hubungan ini, kami sudah tahu bahwa ini tidak akan mudah. Apalagi dengan kondisi kami yang "berbeda".

Bagi saya dan suami juga, komunikasi adalah hal paling mendasar dan hal yang paling menentukan dalam sebuah hubungan. Bahkan sewaktu belum menikah dulu kami sudah mendiskusikan bagaimana pola komunikasi yang baik saat satu dari kami sedang marah. Dan dari diskusi-diskusi itu kami saling belajar. Apa saja yang kami pelajari?

Bahasa tidak pernah menjadi masalah dalam komunikasi

Ini adalah pertanyaan utama yang paling sering saya dapatkan, "komunikasinya pake bahasa apa?" 

Jawabnya campuran. Kami berdua menggunakan campuran bahasa Inggris dan Jepang, dengan sedikit campuran bahasa Indonesia. Level bahasa Jepang saya sangat standar, sehingga kalo mendiskusikan hal yang kompleks, saya selalu menggunakan bahasa Inggris. Begitu pula dengan suami yang bahasa Inggrisnya juga B aja, pasti campur bahasa Jepang.

Ngga rempong? Ya rempong. Tiap kali diskusi berat, dan ada bahasa Jepang yang saya ngga paham, atau bahasa inggris yang suami ngga paham, pasti kita langsung "googling" atau pake "google translate" untuk menjelaskan. Ya memang diskusinya jadi semacam 'makan waktu', tapi prioritas komunikasi kami bukan di cepat atau tidaknya pesan tersampaikan, tapi SAMPAI atau TIDAKNYA PESAN itu. Jadi ngga masalah buat kami selama kami saling ngerti.

Lambat laun kami pun jadi lebih memahami kosakata bahasa masing-masing. Bahkan sampai hapal dengan gesture masing-masing. Malah jadi lebih praktis komunikasinya. Jadi, menurut pengalaman saya, perbedaan bahasa tidak pernah menjadi masalah komunikasi dalam pernikahan internasional.

Begitupun ketika kami komunikasi dengan keluarga masing-masing. Semuanya pengertian dengan kekurangan masing-masing dan ngga berusaha memaksakan. Yang penting pesan selalu tersampaikan. Pesan saya, jangan terpaku terhadap perbedaan bahasa, yang penting prioritasnya: pesan tersampaikan.

Tapi kalo di buat persentase, diskusi kami 80% bahasa Jepang, 15% bahasa Inggris, 5% bahasa Indonesia. Kenapa bahasa Indonesianya sedikit? Simply karena saya males ngajarin suami hahahaha (jadinya suami belajar mandiri pake app).

Pola dan bentuk komunikasi tiap pasangan itu berbeda

Saya banyak belajar juga dari salah satu postingan teman komunitas #1minggu1cerita, salah satunya adalah tentang perbedaan pola dan bentuk komunikasi antara laki-laki dan perempuan. Saya sebagai perempuan memang lebih banyak membawa emosi ketika bicara, sementara suami lebih banyak bawa logika dan prioritas: pesan harus tersampaikan.

Berantem? Sering. Mostly, karena saya selalu bicara dengan emosi. Nah dari sini saya sebenernya belajar banyak tentang perbedaan pola itu. Sedikit demi sedikit saya jadi lebih ngerti gimana cara bicara dengan suami. Yang penting: pesan tersampaikan.

Tapi pola dan bentuk komunikasi ini bisa berbeda-bedan tiap pasangan. Dan ini ada hubungannya dengan poin ketiga.

Bahasa non-verbal itu penting

Saya juga setuju sekali dengan postingan kak Winda di blognya, bahwa bahasa non-verbal itu penting. Kalau menurut kak Winda bahasa verbal itu adalah cinta, kalo menurut saya dan suami, bahasa non verbal kami adalah kedekatan.

Setelah saya dan suami memutuskan untuk membina hubungan, suami langsung pindah apartemen di sebuah apartmen yang hanya 10 menit jalan kaki dari apartemen saya dulu. Selain karena sewanya lebih murah (karena suami ingin menabung untuk menikah), lokasinya juga dekat dengan stasiun dan dekat dengan saya.

Sejak saat itu, yang awalnya sering chat dan telepon, kami jadi lebih sering ketemu. Suami jadi sering antar makan malam, belanja ke swalayan bareng, atau pergi ke taman dan stargazing sambil ngobrol heart to heart. Kami jadi lebih sering ketemu dan ngobrol. Lebih sering menikmati keberadaan satu sama lain. Dan sejak saat itu juga bahasa komunikasi kami mulai berubah.

Kalau chat, suami cenderung jawab pendek-pendek. Di telepon seringkali tidak mau, karena suami merasa HPnya cepat panas dan tidak nyaman. Persis seperti orang yang marah. Padahal kalau bertemu langsung, ngobrol langsung, sama sekali tidak ada kesan itu. Suami saya masih seperti suami saya biasanya.

Begitu pula kalau ada masalah. Tiap kali didiskusikan dengan chat, pasti ujung-ujungnya ribut. Padahal kalau ngobrol langsung bisa langsung beres urusannya. Dan feel-nya bener-bener beda antara diskusi over the phone dengan ngobrol langsung.

Ternyata masing-masing dari kami menikmati obrolan sambil mengamati gesture masing-masing. Sambil melihat ekspresi, melihat binar di matanya, dan melihat ketawanya. Bentuk bahasa non-verbal yang kami sudah biasa melakukannya selama bertahun-tahun sejak pacaran dulu.

Karena bahasa non-verbal tersebut, setelah menikah kami jadi sangat suka melakukan pillow talk. Quality time buat kami itu justru menghabiskan waktu berjam-jam diatas kasur hanya untuk ngobrol dan saling berkontemplasi, atau nonton film dan diskusi bareng. Menikmati keberadaan satu sama lain adalah bahasa non-verbal kami.

Kesulitannya adalah ketika kami harus LDM. Walaupun baru beberapa bulan LDM, kami sudah mulai merasa bahwa LDM sepertinya bukan untuk kami. Bukan tidak bisa, tapi lebih berat. Mau tidak mau kami harus mengusahakan bagaimana supaya kami bisa komunikasi lebih baik.


Well, masalah komunikasi ini sebenernya sangat berbeda-beda, tergantung dengan personality dan pengalaman masing-masing orang. Yang jelas, menurut saya, perbedaan bahasa bukanlah masalah pada komunikasi dalam pernikahan internasional. Bentuk, pola dan tipe bahasa non-verbal lebih penting.

Tiap pasangan yang menikah nantinya akan membangun pola komunikasinya masing-masing. Jadi, mulailah mempelajari pola dan bentuk komunikasi seperti apa yang works, dan apa yang doesn't work.

Walaupun usia pernikahan saya masih amat sangat seumur jagung, mungkin jagung aja belum tumbuh kali ya? Tapi topik komunikasi ini topik yang sudah lama kami bahas, dan inilah temuan yang menurut kami works.

Bagaimana dengan teman-teman?

Posting Komentar

0 Komentar