Bahagia adalah tanggungjawab diri sendiri

Sebagai perempuan, sering terbersit dalam diri saya bahwa ketika menikah besok, saya ingin pasangan saya membahagiakan saya. Tapi, pasangan--yang kemudian menjadi suami--saya "menolak" permintaan itu. Menurutnya, bahagia adalah tanggungjawab diri sendiri.

Saya masih ingat bagaimana saya merasa marah dan emosi ketika mendengar "penolakan" tersebut. Tapi setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya saya mengerti apa yang dimaksud. 

There is no such thing like "you are the source of my happiness". 

Kenapa? Karena ketika orang tersebut--orang yang membahagiakan--kemudian pergi, bagaimana nasib kebahagiaan kita? Hilang juga? Apakah kemudian kita jadi tidak bisa bahagia?

Ada beberapa hal yang dulu bikin saya sebel sama pasangan sebelum menikah. Ketika saya mulai sedih kalau ngga sering ketemuan, si mas justru malah menjauh. Ketika saya bingung, hilang arah menentukan masa depan, ingin "bergantung" pada pasangan atau pada situasi tertentu, pasti ujung-ujungnya berantem.

Awalnya saya kesal, tapi lama-kelamaan saya sadar. Selama ini saya sering kesusahan memilih sesuatu. Karena saya tidak tahu mana pilihan yang membuat saya "merasa bahagia". Ketika bingung, saya cenderung melarikan diri dari tanggungjawab untuk memilih dan meminta orang lain memilihkan sesuatu untuk saya, agar suatu hari jika saya merasa tidak bahagia, saya bisa menyalahkan orang lain itu. 

Dan inilah yang dilihat oleh pasangan saya. Makanya pasangan saya selalu menjauh ketika saya mulai clingy dan needy. Menurut dia, saya tidak berusaha mengenali dan menyadari hal-hal penting tentang diri saya, termasuk apa yang membuat saya bahagia. Tetapi memaksakan oranglain membahagiakan kita. 

Begitu pula ketika disuruh memilihkan sesuatu untuk saya, menurut dia, saya tidak bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Padahal bahagia atau tidak dengan pilihan itu, kita yang menentukan dan kita yang merasakan.

Sejak saat itu saya mulai sadar, karena terbiasa "nurut" sama orang tua dengan dalih "membahagiakan orang tua", saya jadi lupa sebenernya apa yang membuat saya bahagia. 

Sebenernya ngga ada yang salah dengan "membahagiakan orang lain". Beberapa orang memang menemukan kebahagiaannya dengan "act of service", dengan membahagiakan orang lain. Tentu itu dilakukan setelah orang tersebut MENYADARI bahwa membahagiakan orang lain adalah tujuan bahagianya.

Sedangkan saya? Kayanya menentukan mana yang lebih bahagia antara jalan-jalan ke gunung atau ke pantai saja saya belum mampu. Bagaimana saya bisa menyebarkan kebahagiaan ke orang lain juga? Padahal orang tua kan bahagia ketika anak bahagia kan ya?

Maka dari itu, setelah banyak percekcokan dan diskusi dengan pasangan, akhirnya kami sepakat bahwa bahagia adalah urusan masing-masing. Bahagia adalah tanggungjawab diri sendiri, bukan pasangan, bukan orang lain. Saya harus bisa menemukan kebahagiaan pribadi saya.

Kami percaya, dengan mendapatkan kebahagiaan pribadi, kita bisa membagi kebahagiaan tersebut dengan pasangan, dengan keluarga, tanpa membebani siapapun. 

"Sebelum membahagiakan orang lain, kami harus bisa membahagiakan diri sendiri dulu"

Kalau kebahagiaan itu seperti air, dan kita adalah cawannya, maka kita harus mengisi cawan kita dengan air hingga penuh, baru kita bisa mengisi air ke cawan yang lainnya. Bukan begitu? 

Kalau kita memang mau menggantungkan kebahagiaan, gantungkanlah hanya ke Tuhan :)

Posting Komentar

0 Komentar