Belajar main piano itu (sebenernya) menyeramkan lho!



Akhir minggu lalu tiba-tiba saya kesambit pingin beres-beres kamar. Pas lagi beres-beres, tiba-tiba saya menemukan buku-buku les piano saya. Satu persatu buku itu saya buka dan saya tertegun melihat catatan yang ditinggalkan guru saya. Banyak yang tidak sadar kalau belajar main piano itu sebenarnya menyeramkan lho!

Belakangan ini saya sering dengar cerita dari teman yang mengirim anaknya les piano. Meskipun anaknya yang les, tapi ternyata ibunya juga ikut rempong lho! Karena les piano itu ngga gampang. Dan memang butuh dukungan dari keluarga. Seperti apa beratnya belajar piano?

(Disclaimer: tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi ya. Bisa berbeda tiap orang)

Bakat aja ngga cukup

Dulu orangtua saya berpikir saya berbakat, makanya ditawari untuk les piano. Saya pertama belajar main piano waktu TK. Awalnya belajar basicnya dengan electone (keyboard elektrik yang dua tingkat itu lho), sebelum akhirnya naik ke tingkat dan berpindah ke kelas piano.

Setelah beberapa saat, ternyata saya ngga tahan dan akhirnya saya berhenti dari les piano. Selain karena bosan dan pingin ganti les renang (anak-anak banget), saya mulai ngerasa berat les piano.  

Kalau dulu di tingkat electone sangat santai, di tingkat yang berikutnya terasa lebih serius. Saya sering kali kena marah karena kuku tidak dipotong atau kalau lagu yang dipelajari ngga maju-maju. Di kelas electone, sebelum pulang kami nyanyi-nyanyi dulu sekelas seru banget, sedangkan di tingkat piano ini kami harus menebak titi nada lagu sampai benar. Kalau masih salah, tidak boleh pulang.

Saya pikir dulu saya cuma takut. Namanya anak-anak pasti takut kalo gurunya galak. Ternyata ngga juga, waktu saya kembali les piano waktu SMP-SMA, ternyata sama aja.

Meskipun saya dulu bisa dibilang cepat belajarnya, tapi ternyata itu saja ngga cukup.

Belajar piano itu soal ketekunan dan disiplin

Guru piano saya waktu SMP-SMA ini sebenernya lebih santai. Orang Maluku yang kemana-mana jalan kaki atau naik angkutan umum. Tapi kalau sudah ngajar saya, wuuuh menggebu-gebu banget. 

Jadi, belajar piano itu ngga cuma soal baca notasi balok dan memainkan jari. Posisi duduk kita harus benar, cara jari kita ketika mengetuk tuts juga harus benar. Kalau itu aja masih ngga disiplin, suara yang dihasilkan dari piano kita juga ngga akan merdu. Awalnya saya ngga percaya, tapi setelah ketemu murid-murid guru saya yang lain, akhirnya saya percaya, suara piano saya ngga merdu.

Untuk bisa membiasakan diri dengan posisi duduk dan cara mengetuk tuts dengan benar saja butuh waktu. Apalagi melatih teknik-teknik bermain piano. Beuh, butuh waktu lama.

Salah satu buku latihan teknik yang penuh dengan coretan. Udah kerasa belom kerasnya kehidupan? LOL. Buku ini yang paling males saya buka. Karena isinya teknik, monoton.

Mempelajari lagu pun begitu. Sekedar "bisa" memainkannya saja itu tidak sulit, tapi bisa memainkannya dengan teknik yang tepat, emosi yang tepat, itu yang butuh ketekunan.

Les piano saya waktu SMP-SMA ini juga akhirnya berhenti ditengah-tengah. Tapi kalau ini lebih karena waktu itu mau persiapan ujian sih. Walaupun juga karena ada faktor lain: merasa tidak bisa keep up dengan teman-teman lain yang jauh lebih tekun dan disiplin dalam berlatih piano (sedangkan saya lebih suka nge-dance jaman itu).

Guru les piano bisa dibilang terkesan "galak" karena mengajarkan ketekunan dan kedisiplinan ke anak-anak itu ngga mudah. Termasuk ketekunan dan kedisiplinan latihan teknik piano.

Harus didukung keluarga juga

Untuk bisa keep up dengan porsi latian teknik, saya harus latian piano setiap hari selama beberapa jam. Yang artinya keluarga saya harus ikut "merasakan" berisiknya suara latian piano saya yang sering kali sumbang dan ngga enak didengar.

Kalau saya jadi keluarga yang mendengar suara latian piano saya mungkin judeg juga lama-lama. Soalnya latiannya bener-bener harus diulang-ulang, dengan suara yang monoton, terus kalau pas latian lagu juga sering salah-salah dan sumbang-sumbang gitu. (rumah saya tidak punya ruang khusus kedap suara btw).

Selain itu, keluarga juga harus sering-sering kasih apresiasi juga. Sekedar memuji sekenanya, atau ikut menikmati musik yang dilantunkan. Karena latian piano itu berat, kalau hasilnya ngga diapresiasi, pasti lama-lama patah semangat juga. Kayak saya! Hahahaa

Keluarga juga harus siap kalau si anak ini kesel sendiri gara-gara sulitnya mempelajari teknik bermain piano. Meskipun main piano ini mirip main keyboard dan electone, tapi tekniknya bisa dibilang berbeda.

Pada dasarnya saya emang ngga setekun itu dan ngga disiplin aja sih makanya sekedar "bisa main", tapi ngga berkembang hehehe. Kalau saya perhatikan temen-temen seperguruan semuanya emang tekun banget. Latiannya aja bisa berjam-jam tiap hari. Perkembangan mereka juga pesat, tiap konser bersama pasti lagu yang dibawakan makin sulit.

Buku piano favorit saya sekarang. Kalo sekarang saya maunya belajar lagu-lagu pop, lagu yang disukain aja. Udah ngga belajar teknik-teknikan lagi hahahaha


Karena pernah merasakan sendiri, saya jadi punya rasa hormat yang lebih terhadap mereka-mereka yang jago main piano. Because it is hard. Ngga cuma butuh bakat, butuh ketekunan dan disiplin juga. 

Kira-kira begitu lah alasan kenapa menurut saya belajar main piano itu menyeramkan. Walau begitu, sampai sekarang main piano masih menjadi hobby saya lho, selain menulis dan melamun tentunya hahahaha.

Sebenernya dari belajar piano kita bisa dapat banyak pelajaran. Salah satunya adalah sabar dan menghormati proses. Karena ngga ada lho pemain piano yang belajarnya instan! Ya ngga?

Walaupun belajarnya menyeramkan, tapi main piano menyenangkan kok.

Posting Komentar

0 Komentar