Gara-gara pandemi: Menikah sendirian di Jepang



You heard me.

Pasti aneh kan kalo mendengar seorang perempuan, muslim, menikah sendirian di perantauan tanpa didampingi ayah/ibu kandung padahal ayah/ibu masih hidup dan sehat? But, thanks to this pandemic, it happened to me

Masalah pernikahan buat saya sudah jadi cerita panjang dan lama. Buat yang personally kenal dengan saya pasti pernah dengar satu-dua keluh kesah tentang masalah berkepanjangan ini. Saya mengenal dan menjalin hubungan serius dengan suami sudah sejak 3 tahun yang lalu, sudah lama. Bahkan sejak tahun lalu, hubungan ini sudah semakin serius sampai ke tahap keluarga. Dari hasil diskusi dengan keluarga, seharusnya kami mengadakan acara lamaran pada bulan April 2020, dan menikah pada bulan Juli 2020. But guess what? Pandemic hits and everything became a mess...

Hal yang paling menyedihkan dari pandemi adalah ditutupnya perbatasan negara-negara, dimana hal ini membuat pernikahan yang melibatkan dua negara menjadi tidak visibel. Sehingga, saya harus membuat keputusan, mau melanjutkan pernikahan ini atau mau menunda, dengan catatan tidak ada yang tahu akan sampai kapan batas-batas negara ditutup. Tidak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. Beruntungnya, saya masih punya sisa-sisa visa tinggal di Jepang yang bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan pernikahan sebelum masing-masing dari kami tidak lagi bisa mengajukan visa di masing-masing negara, yang artinya kami tidak lagi bisa ketemu. 

Setelah diskusi yang cukup alot, dengan banyak pertimbangan dari A-Z, termasuk pertimbangan karir di Indonesia dan usia yang sudah lumayan tinggi, saya dan keluarga sampai pada keputusan bahwa pernikahan sebaiknya dilanjutkan, walau harus berkorban: pernikahan akan jauh dari ideal. Pernikahan akan dilakukan di perantauan dengan diwakilkan oleh wali nikah dan di-broadcast melalui internet. Apakah hal ini bisa? Bisa.
Saya dan mantan pacar yang menjadi suami


Ini kemudian menjadi satu-satunya jalan supaya nantinya suami bisa mendapat visa Indonesia. Dari sekian lembaga, termasuk kedutaan, dimana saya melakukan konsultasi, semuanya menyarankan hal yang sama: menikah dulu. Akhirnya, inilah jalan yang saya pilih. Meskipun berat, tapi sepertinya lebih visibel ketimbang menunggu pandemi, yang saya sendiri paham, tidak ada yang tahu sampai kapan.

Ditengah-tengah studi saya di Jepang, saya inget salah satu sahabat dan geng "menari" jaman kuliah yang melangsungkan pernikahannya di Pacet, Mojokerto. Pernikahannya dilakukan outdoor, bergaya garden party, dengan konsep simpel tapi kekeluargaan. Saya masih inget foto-fotonya, dan masih inget cerita temen-temen yang hadir tentang betapa menyenangkannya pesta yang kekeluargaan. Teman saya sendiri juga bercerita tentang kepuasan merencanakan pernikahan impiannya sendiri. Kala itu saya berpikir, "wah, kayaknya seru banget bikin pernikahan impian sendiri yang sederhana tapi kekeluargaan, saya juga kepingin kayak gitu". Emang bener kata orang, "be careful what you wish for," ternyata apa yang saya bisikkan dalam hati, bener-bener kejadian. Gara-gara pandemi, saya harus merencanakan pernikahan saya sendiri. Kali ini bener-bener sendiri.

Soal bagaimana tahap-tahapnya merencanakan pernikahan sendiri, nanti akan saya ceritakan di post yang terpisah. Terutama buat muslim di Jepang, ceritanya agak panjang.

Yang jelas, dari pengalaman ini saya belajar banyak:

1. Be careful what you wish for. 

Karena pasti terjadi. Mulai dari mimpi saya tinggal di Jepang, mimpi saya sekolah tinggi, sampai impian saya menyusun pernikahan impian sendiri. Tuhan mendengar isi hati kita yang paling dalam, walaupun cara-Nya mewujudkan kadang kala tidak pernah terbayangkan oleh kita.

2. Pernikahan ngga harus heboh, rame, meriah, apalagi mewah. 

Tuhan memberikan banyak kemudahan bagi kita, termasuk dalam hal pernikahan. Kita ngga perlu merepotkan diri sendiri dengan berbagai hal yang sebenernya "ngga ada juga ngga apa". Pernikahan saya sendiri sangat sederhana. Hanya dihadiri 10 orang saja termasuk saya dan suami, karena kondisi pandemi di Tokyo yang sangat tidak memungkinkan untuk beramai-ramai. Teman-teman dan keluarga saya undang melalui daring. Bahkan keluarga saya sendiri hanya menyaksikan secara daring. Akad dilakukan di KBRI Tokyo, sama seperti kalau kita melakukan akad di KUA. Sedih? Jelas. Bukan karena pernikahan yang sederhana, tapi karena tidak di dampingi keluarga.  Yang jelas, kembali lagi ke niat awal: menikah dengan sah secara agama. 

Pernikahan 'daring' kami

3. Kembali lagi ke prioritas. 

Kalau kita sudah punya prioritas, kita harus siap membuat pengorbanan. Karena belum tentu semuanya bisa berjalan bersama. Buat saya, menikah secara agama waktu itu adalah prioritas, yang lain-lain menjadi variabel yang sewaktu-waktu bisa dikorbankan (walaupun kita berusaha untuk bisa mewujudkan pastinya). 

4. Menyiapkan pernikahan tidak seribet itu. 

Mungkin hal-hal terkait proses akan saya bahas di posting yang lain. Prosesnya sendiri tidak ribet, yang ribet adalah manusia-manusianya. Yang penting ada keluarga dan teman-teman yang supportif.


5. Ada banyak cara untuk bikin pernikahanmu tetep meriah, walaupun daring. 

Ini juga mungkin akan saya bahas kemudian. Pokoknya, di masa pandemi seperti ini, jangan korbankan keluargamu dan keluarga orang lain demi pesta-pesta yang beresiko menyebarkan COVID-19. Menikah tidak harus pesta, tidak harus rame-rame. Ingat, apa inti dari pernikahan itu sendiri. 



Meskipun saya "sendirian" ketika menikah di perantauan, tapi nyatanya saya tidak sendiri dalam proses ini. Banyak sekali teman dan kolega yang membantu, mendukung, dan bahkan meramaikan pernikahan saya. Dalam kesempatan ini saya sangat berterimakasih kepada teman-teman tersebut, karena tanpa mereka mungkin kisahnya tidak akan seindah ini. Juga kepada orangtua saya yang supportif dan legowo dengan keputusan ini. Saya beruntung memiliki orangtua seperti beliau yang tegar sekali ditengah pandemi ini. Bukan keputusan yang mudah baik bagi saya maupun keluarga saya, tapi masing-masing dari kami bersedia mengalah untuk greater good

Keluarga, teman, dan kolega yang paling berjasa dalam kelangsungan acara pernikahan kami


Apakah saya menyesal menikah sendiri di perantauan? Nggak. Justru pernikahan tersebut jadi terasa spesial dan indah pada akhirnya.
Saya belajar banyak, saya memperoleh banyak ilmu, menambah teman, dan menambah pengalaman. Saya justru merasa semakin dewasa.

Kalo ada yang ingin ditanyakan, atau pingin dibahas, silahkan ditulis di komen ya..
Beberapa posting ke depan mungkin saya akan bahas hal-hal terkait pernikahan dan pernikahan di Jepang. Semoga nggak pada bosen yaaa

Posting Komentar

0 Komentar