A Camera Journey: Kamera, Momen, dan Kehidupan


 

Kalo orang biasanya beli kamera karena mereka suka fotografi, mereka belajar fotografi, atau emang jago fotografi. Kalau saya, beli kamera karena dorongan yang sangat kuat buat mengabadikan momen. Entah hasil fotonya bagus atau jelek, yang penting diabadikan dulu momennya.

Saya inget banget saya pertama kali punya kamera kelas 3 SD. Alasan pingin punya kamera sebenernya sepele, cuma pingin foto-foto ama geng aja (biasalah anak kelas 3 SD udah kenal geng-geng-an dulu).  Trus nanti fotonya disimpen di album foto yang cover-nya lucu-lucu gitu.

Kamera Pertama

Kamera pertama yang saya incar bukan kamera mahal, bukan kamera dari brand kamera ternama, hanya sebuah kamera poket murah yang mereknya ngga jelas. Biar ngga jelas begitu, jaman segitu harganya sekitar 30.000. Saya ingat dulu supaya bisa membeli kamera itu, saya rajin menyisihkan uang. Tapi karena uang ngga kunjung terkumpul, saya pake siasat lain. Siasat ranking sekolah.

Karena udah ada iming-imingnya, saya jadi makin semangat sekolah, dan untungnya pas kenaikan kelas, ranking saya bagus, akhirnya kamera itu menjadi hadiah. Dan jadilah itu kamera pertama saya yang benar-benar milik saya.

Kamera pertama saya yang mereknya ngga tau apa, tapi lumayan awet dan hasilnya lumayan kala itu.
Mereknya PUJI-ST. Puji ya, bukan Fuji.

Pertama kali mengisi film ke kamera itu, saya excited banget. Paling ngga 32 foto saya ambil dalam satu rol. Sayangnya, terjadi sebuah tragedi yang memilukan. Karena amatir, keseluruhan foto di rol itu akhirnya hangus! Gara-gara ketika menggulung film-nya saya malah membuka body kameranya, dan menggulung rol tepat dibawah cahaya (harusnya rol digulung sampai habis sebelum kamera dibuka).

Saya masih inget ketika ayah saya pulang dan membawa hasil film yang sudah di cuci dan semuanya hitam. Tidak ada gambar sama sekali. Well, mencuci film dulu bukan hal yang murah juga. Jadilah saya dimarahi.

Tragedi kamera murah saya tidak berhenti. Rol berikutnya yang kami cuci dan cetak ternyata menghasilkan foto-foto yang bagian pinggirnya (lagi-lagi) gosong. Usut punya usut, ternyata penutup belakang kamera saya tidak rapat, jadi cahaya dari luar bisa masuk ke dalam filmnya. 

Ngga mau rugi, akhirnya kali berikut saya mengisi film, saya plester celah tersebut dengan lakban. Akhirnya kamera tersebut berjaya. Walaupun kejayaannya tidak lama berlangsung. Karena setelah itu kakak saya dibelikan kamera poket yang lebih keren (yang pake blitz), dan akhirnya kamera ini terlupakan sampai hari dimana saya bongkar-bongkar kamar dan menemukannya kembali.

Kalau dipikir-pikir, setelah era kamera poket itu, saya ngga pernah beli kamera lagi. Karena selalu ada kamera punya papa, punya mama, punya kakak, yang selalu bisa saya pinjam. Dan berbeda dengan sewaktu SD dulu, saya ngga terlalu kepingin mengabadikan apa-apa. 

Kamera Sekarang

Dorongan membeli kamera kemudian timbul lagi justru ketika saya S3 di Jepang. Entah kenapa saya merasa ingin sekali punya kamera yang khusus mengabadikan momen-momen terbaik saya. Meskipun kala itu sudah masuk era smartphone.

Suatu waktu, saya mendapat jatah liburan gratis dari kampus saya. Kala itu saya memilih untuk berlibur ke Hiroshima. Tepat beberapa hari sebelum berangkat, tiba-tiba saya merasa dorongan yang sangat kuat untuk membeli kamera, karena menurut saya ingin mengabadikan seluruh perjalanan, yang kalau itu diabadikan dengan HP, pasti boros batere.

Beruntung pacar saya kala itu baik sekali (sampai sekarang juga masih baik dan sabar luar biasa hehe). Karena doi kerja siang hari, doi ngebelain nemenin saya yang bolos dari lab buat beli kamera di toko elektronik. Bahkan doi juga rela keluar masuk toko demi mendapatkan harga yang pas buat saya.

Setelah berdiskusi dan negosiasi, akhirnya saya mendapatkan kamera yang saya inginkan. Yang sebelumnya sudah saya pelajari reviewnya kemana-mana. 

Kamera "beneran" saya yang pertama. Bener-bener bisa ambil gambar yang ciamik, dan juga video ala vlogger-vlogger jaman now. 

Sejak punya kamera ini, saya jadi lebih excited mengabadikan momen. Tiap ikut acara seru, pergi liburan, atau apapun, pasti saya abadikan. Kualitas video yang oke semakin bikin saya yang hobi edit-edit video jadi makin sering edit dan upload, hingga jadilah channel Youtube IndyRins

Yang tadinya saya hanya bikin video pake hape dan mengandalkan edit mengedit, sekarang bisa tersenyum sedikit lebih lebar karena footage video lebih baik ketimbang jaman sebelum punya kamera ini. 

Apalagi semenjak punya kamera ini saya bisa menghasilkan video-video tips and trick, vlog, yang ternyata punya penonton dan membantu banyak orang. Puas banget rasanya.

Tambah lagi, pada bulan September 2019, karena supervisor saya tahu saya hobby YouTube-ing, akhirnya beliau memberi saya kesempatan menjadi seorang videografer untuk acara internasional yang dia selenggarakan. Lumayan, kala itu saya diberi "hadiah" berupa microphone dan gimbal yang dipakai dalam proyek tersebut. 

Sampai sekarang pun saya masih senang meng-capture momen. Dan masih rutin YouTube juga walaupun beberapa video sifatnya recycle video lama. 

Walaupun masih amatir, ternyata saya suka mengambil video dan mengedit video. Bahkan bulan September yang lalu saya kembali bekerja menjadi videografer untuk sebuah event internasional online di Jogja. Senang rasanya bisa melakukan hal yang memang senang untuk kita lakukan.

Saya bukan seorang penggemar kamera. Bukan photography enthusiast juga. Tapi saya senang mengabadikan suatu momen.  Apalagi menjadikannya sebuah momen hidup seperti dalam video. Saya sendiri menyadari manfaatnya, kalau pas lagi kangen, tinggal muter video di YouTube aja, langsung berasa kembali ke masa video tersebut di ambil.

Karena momen-momen tersebut ngga akan kembali lagi. Jadi, kenapa tidak diabadikan?

Kalau temen-temen, apa benda sentimental yang ikut dalam perjalanan hidup teman-teman?

Posting Komentar

0 Komentar